GOWA – Di tengah panas terik matahari, seorang anak lelaki dengan kulit hitam legam, tak mengiraukan tubuhnya terbakar terik matahari menjajakan dagangannya. Sesekali, terlihat ia mengusap keringatnya yang bercucuran membasahi jaketnya yang lusuh.
“Jalangkootee, Panaadaa, Pisang goreeeng!” teriaknya dengan suara nyaring terdengar, meski dari kejauhan.
Namanya Muhammad Ardiansyah. Ia kerap disapa Ian. Usianya masih belia, namun Ian sudah merasakan bagaimana susahnya mencari uang demi sesuap nasi. Meski masih duduk di bangku kelas 6 SD dan sebentar lagi menjalani Ujian Nasional, setiap sore dia masih berkeliling menjajakan dagangannya di sekitar Jalan Veteran Bakung Samata, Gowa.
Ian tak sendiri, ada Amelia adik kandungnya yang juga ikut berjualan. Namun mereka menjual secara terpisah. Biasanya Ian yang berangkat lebih dulu, selang beberapa menit setelahnya Amelia menyusul di belakangnya meneriakkan hal yang sama seperti kakaknya.
Siswa SD Inpres Bakung itu sudah terbiasa hidup mandiri. Orang tuanya yang juga menjual gorengan mengajarkan Ian menjalani kerasnya hidup. Gorengan yang dibuat ibunya biasanya dijajakan juga oleh ayahnya di sekolah-sekolah saat pagi.
“Jualanku lumayan, selaluji habis. Adikku juga biasa membantu jualan. Saya bisa mendapatkan hasil Rp 170.000 – Rp 200.000 per hari,” ucap Ian.
Ian hanyalah satu dari sekian banyaknya anak yang mengesampingkan waktu bermainnya demi membantu orang tua.
Tak ada gengsi, tak ada rasa malu. Malah Ian merasa bangga karena diusia yang masih 12 tahun itu dia bisa menghasilkan uang sendiri. Apalagi pekerjaan itu tidak mengganggu sekolahnya. Meski banyak yang beranggapan bahwa orang tua terkadang memaksa anak-anaknya bekerja karena faktor kemiskinan.
Kemiskinan yang dapat berdampak pada perampasan hak-hak anak. Mereka seharusnya menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya yang sebaya. Bahkan tak jarang anak-anak tersebut harus putus sekolah.
Namun, setidaknya Ian dan adiknya masih bisa menikmati bangku sekolah hingga sekarang. Bermain bersama temannya meski waktu yang terbatas. Apalagi mereka melakukan dengan hati yang lapang tanpa paksaan. Ditambah lagi penghasilan mereka jauh dari kata cukup. (*)
Komentar