Frederik Kalalembang: SBY adalah Teladan Politik yang Tak Pernah Goyah Meski Diuji Zaman

JAKARTA – Sosok Presiden ke-6 Republik Indonesia, Jenderal TNI (Purn) Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terus menjadi inspirasi dan teladan dalam dunia politik nasional. Bagi Irjen Pol (Purn) Drs. Frederik Kalalembang, anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, keteladanan SBY bukan hanya tampak saat menjabat sebagai kepala negara, tetapi telah teruji sejak jauh sebelum itu, khususnya saat menghadapi gelombang ujian politik yang menantang di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

“Pak SBY adalah tokoh yang sabar, tidak reaktif, dan tidak pendendam. Ketika diberhentikan dari jabatan Menko Polhukam, beliau tidak membalas dengan amarah atau manuver politik. Tapi justru menata langkah dengan tenang dan bermartabat,” ujar Frederik Kalalembang.

Frederik mengenang perbincangannya langsung dengan SBY di Perpustakaan Cikeas, tempat di mana SBY menceritakan secara terbuka momen-momen sulit itu. SBY menjelaskan bahwa pemberhentian dari jabatan Menko Polhukam bukan disebabkan pembangkangan pribadi, melainkan hasil dari proses kolektif dan pertimbangan konstitusional yang matang.

“Diceritakan SBY, sebelum diberhentikan SBY mengumpulkan para pejabat di bawah koordinasinya, antara lain Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung Baharuddin Lopa, dan beberapa menteri lain. Beliau meminta pendapat mereka mengenai sejumlah rencana Presiden Gus Dur, termasuk isu sensitif yang sempat mencuat saat itu, yakni pembubaran DPR dan MPR,” ungkap Frederik.

Mayoritas dari mereka menyampaikan keberatan terhadap rencana tersebut. Beberapa memilih abstain, namun tak satu pun yang mendukung ide itu. Sikap kolektif ini kemudian dilaporkan SBY sebagai Menko Polkam saat itu kepada Presiden Gus Dur. Namun, justru SBY yang kemudian diberhentikan dari jabatannya pada Juni 2001, sebagai bentuk tanggung jawab politik atas keputusan koordinatif tersebut.

Irjen Pol (P) Drs Frederik Kalalembang (kiri) bersama Ketua Dewan Pakar Partai Demokrat Andi Mallarangeng (dua dari kiri) beserta pengurus Partai Demokrat.

“Sekalipun keputusan yang diambil bukan atas kehendak pribadinya, Pak SBY tetap tegar. Itu menunjukkan kualitas kepemimpinan yang tidak mencari kambing hitam, tidak melawan secara destruktif, tapi memilih jalan yang konstitusional dan bermartabat,” lanjut Frederik.

Frederik menjelaskan bahwa jauh sebelum peristiwa pemberhentian itu, SBY sudah mempersiapkan jalan perjuangan baru di ranah politik. Pada 9 September 2001, Partai Demokrat didirikan, sebuah langkah awal yang kelak mengubah peta politik nasional. Partai ini dirintis oleh SBY bersama sahabat-sahabat terdekatnya di kediamannya di Puri Cikeas, Bogor.

Irjen Pol (P) Drs Frederik Kalalembang dan istri berfoto bersama Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Jenderal TNI (P) Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Ketua MPR sekaligus Ketua Fraksi Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dan istri.

“Dari cerita pak SBY, Pak SBY sendiri yang menyusun akta pendirian partai. Dengan keyakinan dan semangat, mereka memulai dari ruang tamu yang sederhana, tapi dengan cita-cita besar untuk membawa perubahan di negeri ini,” Frederik menjelaskan.

Perjalanan politik SBY kemudian berlanjut saat ia dipercaya masuk ke dalam Kabinet Megawati Soekarnoputri sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Namun, menjelang Pemilu 2004, situasi politik menjadi semakin tegang. Tekanan terhadap SBY meningkat. Hingga akhirnya, pada 11 Maret 2004, SBY secara resmi mengirimkan surat pengunduran diri kepada Presiden Megawati.

“Setelah mundur, beliau langsung bergerak cepat untuk memperkuat Partai Demokrat dan berkampanye. Hasilnya sangat luar biasa, beliau terpilih sebagai Presiden RI melalui pemilu langsung pertama dalam sejarah bangsa ini. Tidak hanya satu, tapi dua periode beliau jalani dengan penuh pengabdian,” ujar Frederik.

Namun yang paling mengesankan bagi Frederik adalah sikap SBY setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden. “Beliau tidak mencampuri urusan pemerintahan. Beliau tetap menjadi negarawan, membimbing Partai Demokrat sebagai Ketua Majelis Tinggi, dan mendorong anak-anak muda, termasuk putra-putranya, untuk berpolitik dengan cara yang baik, konstitusional, dan beretika,” tambahnya.

Salah satu ujian besar yang dihadapi Partai Demokrat pasca-SBY adalah saat terjadi Kongres Luar Biasa (KLB) ilegal pada tahun 2021, yang mencoba merebut kepemimpinan partai secara tidak sah. Frederik menyebut momen ini sebagai bukti keteguhan dan kepemimpinan moral SBY yang kembali menonjol.

“Partai yang beliau bangun dengan susah payah coba diambil paksa oleh pihak luar. Tapi Pak SBY tidak terpancing emosi. Bersama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku Ketua Umum, mereka memilih jalur hukum untuk mempertahankan kehormatan partai. Dan terbukti, kebenaran tetap berdiri tegak,” ucap Frederik.

Selain itu, Frederik juga mengapresiasi kepemimpinan SBY dalam meredam konflik antara KPK dan Polri yang dikenal sebagai “cicak vs buaya”. “Saat itu, Pak SBY tampil sebagai pemimpin yang sejuk. Tidak memihak secara sembarangan, tapi mengajak semua pihak kembali pada hukum, etika, dan semangat demokrasi,” katanya.

Frederik menegaskan bahwa keteladanan SBY adalah perpaduan antara keberanian, kebijaksanaan, dan integritas. “Beliau bukan hanya pendiri partai atau mantan presiden. Beliau adalah guru dalam politik. Keteladanannya dalam berpikir jernih, membangun komunikasi, menjaga etika, dan tetap rendah hati meskipun sudah berada di puncak kekuasaan, adalah nilai-nilai yang harus terus kami warisi sebagai anak bangsa,” pungkas Frederik. (*)