Pernikahan dengan berbeda agama kerap kali menjadi polemik atau permasalahan dikalangan masyarakat. Pasalnya, menikah dengan beda agama sudah sering dilangsungkan dan akhirnya berujung pada perceraian.
Permasalahan dengan nikah beda agama tak hanya ada dalam negeri, namun persoalan ini juga merambak atau menjadi problem tersendiri di berbagai negara lain.
Namun, di Indonesia sendiri, persoalan ini telah mendapat perhatian serius dari para ulama di tanah air. Pasalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980 telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama.
MUI menetapkan dua keputusan terkait pernikahan beda agama ini yakni yang pertama, para ulama di tanah air memutuskan bahwa perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram. Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim.
Perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab memang terdapat perbedaan pendapat.
“Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram,” ungkap Dewan Pimpinan Munas II MUI, Prof Hamka, dalam fatwa itu.
MUI memutuskan Fatwa tersebut menggunakan Al Quran dan Hadis sebagai dasar hukum. “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu…” (QS: al-Baqarah:221).
Tak hanya itu, MUI juga menggunakan Al Quran surah al-Maidah ayat 5 serta at-Tharim ayat 6 sebagai dalil yang kemudian menggunakan hadis yang dijadikan dalil adalah Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tabrani: ”Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bagian yang lain, ” Ungkap dalam sebuah Hadits tersebut.
Sementara itu, Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989 silam.
Senada dengan yang sebelumnya, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah pun juga telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim.
Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas.
“Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim,” ungkap ulama Muhammadiyah dalam fatwanya, dikutip dari SinarIndonesia, Senin (3/2/2020).
Tak hanya itu, Ulama Muhammadiyah pun menyatakan kawin beda agama juga dilarang dalam agama Nasrani. Dalam perjanjian alam kitab ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk menikah dengan yang berbeda agama.
Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga disebutkan bahwa: “Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. ”
“Jadi, kriteria sahnya perkawinan adalah hukum masing-masing agama yang dianut oleh kedua mempelai,” papar ulama Muhammadiyah dalam fatwanya.
Menurut Ulama Muhammadiyah, pernikahan beda agama yang dicatatkan di kantor catatan sipil tetap tak sah nikahnya secara Islam. Hal itu dinilai sebagai sebuah perjanjian yang bersifat administratif.
Muhammadiyah memang mengakui adanya perbedaan pendapat tentang bolehnya pria Muslim menikahi wanita non-Muslim berdasarkan surat al-Maidah ayat 5.
“Namun, hendaknya pula dilihat surah Ali Imran ayat 113, sehingga dapat direnungkan ahli kitab yang bagaimana yang dapat dinikahi laki-laki Muslim,” tutur ulama Muhammadiyah.
Kendati demikian, kata ulama Muhammadiyah, pernikahan wanita ahli kitab dengan pria Muslim banyak membawa kemudharatan dalam banyak hal.
“Maka, pernikahan yang demikian juga dilarang”. Abdullah Ibnu Umar RA pun melarang pria Muslim menikahi wanita non-Muslim. Tentunya akan menimbulkan banyak kemudharatan yang pada akhirnya akan berujung pertengkaran dan perpisahan, ” Terang Ulama Muhammadiyah dalam keterangan Fatwanya. (*)