JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian melaporkan dugaan korupsi dalam pengadaan alat pelontar gas air mata (pepper projectile launcher) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan dugaan korupsi pengadaan gas air mata ini ditujukan kepada institusi kepolisian, dengan dugaan adanya penyimpangan dalam proses pengadaan.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 17 lembaga, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Pers, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), PSHK, KontraS, ICJR, dan Greenpeace, telah mengajukan laporan ke KPK.
Dilansir dari tempo.co, Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur, menjelaskan bahwa laporan tersebut mencakup dugaan tindak korupsi yang melibatkan bagian pengadaan barang dan jasa di kepolisian.
Menurut Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, terdapat tiga potensi penyimpangan dalam pengadaan alat ini: persekongkolan tender yang mengarah pada merek tertentu, indikasi mark up atau penggelembungan harga, dan kemungkinan bahwa pemenang tender memiliki relasi dengan aparat kepolisian. Sunaryanto juga mengungkapkan adanya perbedaan harga signifikan antara pengadaan tahun 2022 dan 2023, dengan dugaan mark up mencapai Rp 26 miliar.
Sunaryanto menekankan pentingnya penanganan cepat oleh KPK, mengingat anggaran yang digunakan bersumber dari pajak masyarakat. “Ironis jika masyarakat membayar pajak untuk pengadaan alat keamanan, namun malah mengalami dampak negatif dari penggunaan gas air mata,” ujarnya.
Muhammad Isnur menambahkan bahwa laporan ini merupakan bentuk partisipasi publik dalam mengawasi tindakan aparat penegak hukum. Ia juga menegaskan bahwa penggunaan gas air mata seharusnya tidak lagi diterapkan karena berbahaya dan tidak pernah diaudit secara memadai. “Penggunaan gas air mata sering kali berdampak negatif, termasuk kematian, dan banyak negara telah melarang penggunaannya,” kata Isnur. (*)