Pemberian nobel perdamaian kepada Uni Eropa mengundang pro dan kontra. Bagi yang seperti para pemimpin negara-negara Eropa dan Presiden Komisi Eropa, pemberian nobel perdamaian merupakan bentuk dukungan politik bagi institusi Eropa yang diakui mumpuni mempertahankan perdamaian sejak Perang Dunia I. Presiden Komisi Eropa menyatakan “Nobel prize is the strongest possible recognition of the deep political motives behind our Union: the unique effort by ever more European states to overcome war and divisions and to jointly shape a continent of peace and prosperityâ€. Harapannya, nobel perdamaian ini dapat menginspirasikan masyarakat internasional agar mencapai perdamaian. Hal inilah yang dicita-ctakan Immanuel Kant dalam karyanya, “Perdamaian yang Abadi†di abad ke-17.
Bagi yang kontra, mereka melihat pemberian nobel ini sebagai sebuah lelucon yang menggelikan, sebuah fantasi Eropa, dan suatu keterpaksaan. Bagi mereka, kondisi Eropa saat ini justru menunjukkan keterpurukan. Jika melihat survey 2009 Eurobaromater, maka kemiskinan di 27 negara Eropa semakin meningkat dalam kurun waktu 3 tahun terakhir (2006-2009). Hal ini berdasarkan koresponden warga Eropa sebesar 80%.
Peningkatan ini direspon oleh koresponden Setengah dari penduduk Latvia, Hunggaria, dan Yunani percaya bahwa kemiskinan terus meningkat. Menurut survey ini, 52% koresponden menjawab alasan dari kemiskinan disebabkan oleh pengangguran akibat krisis Eropa yang tak menentu. Di Belanda, 53% koresponden menjawab bahwa alas an mereka menganggur disebabkan oleh pendidikan dan ketidakmampuan mereka secara teknis. Sedangkan di Denmark dan Jerman koresponden menjawabnya sebanyak 51%. 89% koresponden Eropa mengharapkan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan.
Walaupun data di atas belum sampai tahun 2010-2012, konteks kondisi krisis Eropa yang semakin parah dan negosiasi yang alot antara IMF, Uni Eropa dan Bank Sentral Eropa, memberi peluang dan potensi kemiskinan Eropa akan merambah ke dimensi sosial atau konflik horizontal. Jika dilihat di berita-berita, demonstrasi warga Eropa mulai berjalan secara kontinu dan massif. Jadi krisis Eropa adalah krisis peradaban Eropa dan fantasi Uni Eropa.
Nobel Perdamaian sebagai Politik
Nobel perdamaian untuk Uni Eropa adalah agenda politik Barat. Pertama, peradaban Barat yang kini mengalami krisis berusaha tetap dipertahankan. Jadi jangan sampai konstruksi sejarah bangsa-bangsa Barat (Eropa) runtuh sebagaimana keruntuhan imperium sebelumnya, yakni Ottoman. Keruntuhan Ottoman pun disebabkan salah satunya dan yang paling signifikan dimensi ekonomi yang tertinggal dari praktik-praktik bangsa Eropa yang semakin pandai dalam menggerakkan roda perekonomiannya.
Disadari atau tidak, nobel perdamaian yang dikeluarkan Norwegia adalah pemberian spirit dan kepercayaan diri agar Uni Eropa bangkit dari krisis. Salah satu panitia pemberi nobel perdamaian dari Norwegia berargumen bahwa Uni Eropa member kontribusi penting selama enam dekade dalam perdamaian dan rekonsiliasi serta perwujudan demokrasi dan HAM. Eropa yang menjadi institusi Uni Eropa adalah suatu transformasi damai.
Kedua, nobel perdamaian adalah politik kolonial. Pemberia nobel ini adalah simbolisasi bahwa peradaban Barat-Eropa patut terus dicontoh oleh non Barat-Eropa. Nilai, norma, dan etika Barat-Eropa patut dijadikan tolak ukur semua bangsa-bangsa di dunia dalam hal berperilaku, hidup, dan mengambil kebijakan.
Nobel perdamaian ini melegitimasi dan menguatkan bahwa sistem negara-bangsa, demokrasi, liberalism, HAM, dan kapitalisme Eropa yang mengglobal adalah kebaikan bagi seluruh dunia. System ini telah dibentuk Eropa sebagai suatu tradisi modern. Keruntuhannya adalah kemunduran keluar dari abad modernitas.
Oleh sebab itu, nobel perdamaian adalah semacam ‘imperialisme simbolik’ untuk semua bangsa di dunia, termasuk Indonesia, agar tetap mengikuti segala hal yang berbau peradaban Eropa. Eropa masih tetap unggul menurut semua kalangan, sehingga nobel perdamaian jatuh kepadanya.
Skeptisme melampaui Barat
Politik dalam nobel perdamaian adalah tanda bahwa Barat masih sangat kuat menguasai dunia. Alam modernitas yang dibentuk dalam rangkaian sejarah Eropa sudah cukup mendarah daging di masyarakat internasional. Protes hanya sebatas komentar yang miring datang dari kaum intelektual Eropa. Bagi pasca kolonial seperti Negara Dunia Ketiga, khususnya Indonesia justru melihatnya positif. Dengan kata lain, kebijakan Indonesia dan warganya terhadap nobel perdamaian untuk Uni Eropa adalah suatu kewajaran, kepantasan dan given.
Sihir peradaban Eropa lagi-lagi dikemas secara apik dalam nobel perdamaian, sehingga segala kejelekan, kelemahan, krisis, dan disfungsi Uni Eropa bukan sesuatu keburukan dan krisis legitimasi. Sampai sekarang, dunia masih saja dalam pengetahuan, budaya, peradaban Eropa yang menyebar ke seluruh dunia. Begitu skpetis jika keluar dari peradaban Barat. Walaupun sudah tak mampu menopang peradaban, nobel perdamaian ini adalah pengakuan terhadap kehebatan peradaban Barat-Eropa untuk terus berkuasa.
Nobel perdamaian ini semacam alat legitimasi untuk homogenisasi budaya Barat-Eropa ke seluruh dunia. Fred Halliday (1994) menggambarkan bahwa globalisasi adalah penyeragaman budaya yang datang dari Eropa. Fukuyama (1992) berargumen bahwa demokrasi liberal adalah ideologi yang memenangkan peradaban, sehingga semua orang berlomba-lomba untuk menerapkannya. Demokrasi liberal yang berpijak pada sejarah dan filsafat, etika Eropa awal modernitas tetap akan bertahan dan lestari hingga satu abad mendatang. Hal ini cukup beralasan, sebab naiknnya Cina masih membutuhkan 10 kali lipat kekuatannya untuk mengungguli Amerika Serikat sebagai pemegang tingkat estafet peradaban Barat.
Musa Maliki
Dosen FISIP UPN “Veteran” Jakarta; pengajar luar biasa Universitas Paramadina dan Al Azhar Jakarta, dapat dihubungi di musa_maliki@yahoo.com
Komentar