LINTASTERKINI.COM – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) kembali menghadirkan perhelatan akbar ilmiah dalam bentuk Konferensi Nasional guna merefleksi konsep, pendekatan, metode, dan program pembangunan kesehatan di Indonesia. Forum ilmiah ini akan diselenggarakan di Kota Makassar pada tanggal 3-5 November 2016 yang dihadiri oleh komunitas kesehatan di seluruh Indonesia dari berbagai latar belakang profesi kesehatan.
Potret wajah pembangunan kesehatan di Indonesia akan diurai secara menyeluruh melalui debat konstruktif dengan membenturkan berbagai asumsi, dalil, hasil penelitian, pengalaman, dan cerita-cerita sukses keberhasilan program. Ujung dari benturan pemikiran ini adalah lahirnya gagasan-gagasan inovatif untuk perubahan perwajahan kesehatan Indonesia, dari potretnya yang masih kabur menjadi gambar yang lebih terang dan indah.
Perspektif utama yang sering dijadikan lensa dalam memotret kompleksitas problematika kesehatan oleh para penganut mashab public health adalah Paradigma Sehat. Diskursus-diskursus ilmiah akan mengalir dalam lintasan paradigma ini yang boleh jadi muaranya melahirkan revolusi paradigmatik atau justru semakin memperkuat kemapanannya.
Kemapanan Paradigma Sehat dalam menciptakan perubahan perlu diperiksa kembali karena tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia belum mendapatkan hasil optimum. Indikator makro yang menandakan kualitas kesehatan penduduk Indonesia relatif rendah adalah tingginya kejadian morbiditas, mortalitas, dan angka malnutrisi, khususnya pada populasi rentan seperti bayi, balita dan anak dari keluarga miskin. Banyak kematian yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang seharusnya bisa dicegah. Nalar kritis ini menjadi titik tolak perlunya pembacaan ulang terhadap klaim-klaim kebenaran Paradigma Sehat.
Paradigma Sehat yang memisahkan domain sehat dengan domain sakit merupakan cara berpikir dikotomis yang dipengaruhi oleh penerapan hukum logika biner (sehat/sakit, laki-laki/perempuan, positif/negatif, dll); selalu ada dua kualitas yang kontradiktif pada semua fenomena.Menurut mekanisme kerja hukum logika ini, kondisi sehat adalah baik, sementara situasi sakit merupakan sumber dari segala masalah. Artinya, domain sakit menjadi kompas dari keseluruhan dinamika pembangunan kesehatan. Argumentasi tersebut semakin menegaskan arah dan orientasi kebijakan kesehatan di Indonesiamasih didominasi praktek-praktek penanganan orang sakit.
Kebijakan kesehatan pemerintah sepertiJaminan Kesehatan Nasional, pembangunan fasilitas rumah sakit, rekruitmen tenaga pelayanan medik, pengadaan peralatan kesehatan, obat dan logistik adalah bukti-bukti nyata ketidakberpihakan pemerintah terhadap upaya preventif. Alokasi anggaran kesehatan dari APBN belum mencapai 10% sebagaimana yang diamanatkan oleh UU no 36/2009. Dari alokasi itu, porsi terbesar diserap oleh pelayanan kesehatan spesialistik. Padahal, dasar analisis pemerintah dalam menyusun dan menerapkan kebijakan menggunakan Paradigma Sehat sebagai justifikasi. Ini berarti nalar paradigma sehat sesungguhnya berorientasi sakit, bukan orientasi sehat sebagaimana yang dipahami selama ini.
Sesat pikir Paradigma Sehat dapat juga dikritisi dengan membedah metode penalarannya yang bersifat reduksionistik-simplistik karena terlalu menyederhanakan dimensi sehat sebagai kualitas-kualitas yang dimiliki seseorang sebelum jatuh sakit. Padahal, sebelum kejadian sakit, seseorang melakukan tindakan-tindakan berisiko yang dikenal dengan konsep keterpaparan. Ada satu fase krisis yang memperantarai sehat dan sakit yakni fase keterpaparan.
Fase krisis ini muncul atas ketidakmampuan individu dan masyarakat dalam memelihara pola hidup sehatnya disebabkan oleh pengetahuan, kehendak, nilai, motivasi, keyakinan, dan kepercayaanyang akumulasinya membentuk habitus atau kebiasaan. Semua variabel penyebab keterpaparan inheren pada diri manusia.Pergeseran fokus pencegahan pada medium keterpaparan mengembalikan posisi manusia sebagai subyek karena manusialah yang memproduksi dan mereproduksi faktor-faktor timbulnya keterpaparan.
Dengan demikian, pemetaan determinan kesehatan seyogianya berpusat pada proses-proses sosial dimana manusia berperan sebagai agen yang aktif, bukan lagi ditujukan pada dimensi-dimensi struktural yang cenderung memosisikan manusia secara pasif.
Ketika fokus upaya preventifditujukan untuk mencegah masyarakat dari keterpaparan, maka model penyelesaian masalah bergerak pada bagian hulu. Selama pendekatan public health masih menggunakan asumsi pencegahan penyakit, bukan pencegahan keterpaparan, postur pengendalian masalah hanya bergerak pada bagian hilir yang tidak menyentuh akar. Wajarlah jika konstruksi masyarakat sehat saat ini belum menemukan bangunannya yang ideal.
Buaian paradigma sehat meninabobokkan para intelektual dan praktisi kesehatan masyarakat,sehingga konsep ini bertransformasi menjadi hegemonik di dunia pendidikan public health. Efeknya, desain fitur-fitur pendidikan seperti kurikulum, metode pembelajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat beroperasi di atas landasan paradigmatik ini yang memang dilahirkan dari rahim positivistik sebagai episteme dominan di kampus-kampus.
Institusi pendidikan kesmas tampil secara menyakinkan melegitimasi kebenaran asumsi-asumsi dasar Paradigma Sehat. Rancangan pendidikan profesi, Surat Tanda Registrasi (STR), uji kompetensi, spesialisasi, kebijakan link and match adalah cerminan nalar-nalar positivistik yang sudah tidak mampu lagi menjelaskan dan mengurai fenomena terkini kesehatan masyarakat. Sepanjang profesi kesmas masih menganut aliran berpikir positivistik, maka Ia akan terus berada pada posisi sub-ordinat diantara profesi-profesi kesehatan lainnya.
Eksistensi profesi kesmas kedepanditentukan oleh keberanian para kaum intelektualnyadalam menemukan horison baru pemikiran yang sesuai dengan spirit zaman. Semoga KONAS IAKMI XIII melahirkan konsep-konsep cemerlang dan pemikiran-pemikiran alternatif yang akan memandu terbentuknya Paradigma Baru di bidang kesehatan masyarakat di Indonesia. (Arlin Adam)