JAKARTA – Sebanyak 1,2 juta vaksin coronavac sudah tiba di Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) disebut telah memastikan mutu dan keamanan vaksin Covid-19 itu.
BPOM juga mengawal proses penyediaan hingga izin penggunaan daruratnya atau Emergency Use Authorization (EUA) keluar.
Hal itu dikatakan Juru Bicara Vaksinasi Covid-19, Lucia Rizka Andalusia dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (04/01/2021).
Bahkan kata dia, BPOM juga telah melakukan sampling dan pengujian vaksin saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Disertai dengan penerbitan sertifikat Lot Release.
“Pada proses penerimaan di bandara, Badan POM melakukan pengecekan kesesuaian dokumen serta kesesuaian suhu tempat penyimpanan vaksin coronavac,” terang Lucia.
Dia menjelaskan, sertifikat Lot Release adalah persyaratan penting yang harus dipenuhi dalam memastikan kualitas vaksin.
Persyaratan ini merupakan standar yang ditetapkan World Health Organization (WHO). Yaitu berupa proses evaluasi yang dilakukan otoritas obat di setiap negara untuk menjamin mutu setiap lot atau setiap batch vaksin tersebut.
“Untuk penerbitan sertifikat ini, Badan POM melakukan pengujian di laboratorium Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional,” lanjut Lucia.
Sementara untuk proses percepatan penerbitan EUA vaksin Covid-19, BPOM telah melakukan rolling submission.
BPOM kata Lucia, juga telah melakukan evaluasi terhadap data uji praklinik, uji klinik fase 1 dan fase 2 untuk menilai keamanan dan respon imun dari penggunaan vaksin. Dan juga hasil uji klinik fase 3 yang dipantau dalam periode 1 bulan setelah suntikan yang kedua.
“Tentunya, sesuai persyaratan dari WHO, minimal pengamatan harus dilakukan sampai 3 bulan untuk interim analisis. Yang akan digunakan untuk mendapatkan data keamanan dan khasiat vaksin sebagai data dukung pemberian EUA,” tegasnya.
Soal keamanan sangat penting dipastikan sebelum vaksin diedarkan. Karenanya keamanan vaksin dipantau secara periodik pada subyek uji klinik. Yaitu selama 30 menit setelah penyuntikan. Lalu, pemantauan ketat dalam 14 hari pertama, kemudian 3 bulan dan 6 bulan setelah penyuntikan.
Sesuai standar WHO, khasiat vaksin harus dibuktikan dengan beberapa parameter. Pertama, parameter efikasi merupakan parameter klinis yang diukur berdasarkan persentase penurunan angka kejadian penyakit pada kelompok subyek orang yang menerima vaksin, dibandingkan kelompok subyek atau orang yang menerima plasebo pada uji klinik fase 3.
Kedua, paramater imuno genesitas. Ialah parameter pengganti atau surrogates end point, efikasi berdasarkan pengukuran kadar antibodi yang terbentuk atau dikenal IgG setelah orang diberikan suntikan.
Dan pengukuran netralisasi antibodi atau kemampuan antibodi yang terbentuk untuk menetralkan atau membunuh virus. Pengukuran ini dilakukan dua minggu setelah pemberian dosis terakhir, dan dilakukan pengukuran ulang pada 3 bulan sampai 6 bulan setelah vaksin disuntikkan.
“Setelah kita mendapatkan data-data tersebut, maka dapat diberikan persetujuan penggunaan atau EUA. Sedangkan untuk efektivitas vaksin kita terus akan memantau kemampuan vaksin menurunkan kejadian penyakit di masyarakat dalam jangka waktu yang lama,” tambahnya.
Jadi, ia menambahkan untuk efektivitas vaksin diukur setelah digunakan secara luas di masyarakat pada kondisi yang nyata di lapangan atau di dunia pelayanan kesehatan yang sebenarnya.
Meski demikian, saat ini BPOM masih menunggu penyelesaian analisis data uji klinik fase 3 di Bandung untuk mengkonfirmasi khasiat atau efikasi vaksin Coronavac dalam rangka penerbitan EUA.