LINTASTERKINI.COM – Pada salah satu media massa, ada tulisan dari Saudara Maqbul Halim (MH), selaku Tim Bakal Calon Walikota dan Wakil Walikota Makassar, Danny Pomanto-Indira Mulyasari Paramastuti (DIAmi). Tulisan itu, sedikit “menggelitik”.
Melalui media massa ini, Saya sedikit akan membedah tulisan dari MH ini. Menurut hemat saya, pilihan dan tutur kata serta kalimat dalam menulis adalah cermin pengetahuan, karakter dan watak sang penutur/penulis.
Begitupun jika seseorang menulis atau berbicara sebagai tim dari bakal calon (bacalon), maka tentu saja segala apa yang dikatakan atau yang dilakukannya merupakan repsentasi dari bacalon yang diwakilinya.
Memilah dan memilih tim inti, apalagi juru bicara (jubir) sebagai tukang cuap-cuap di media, haruslah orang yang tepat dan pas sesuai dengan karakter calon. Tulisan dan pandangan suadara Maqbul Halim alias MH sedikit menggelitik, apalagi jika benar ditulis secara sadar dalam kapasitas sebagai tim inti pemenangan Danny Pomanto-Indira Mulyasari Paramastuti (DIAmi).
Prolog tulisannya cukup bagus, diawali dengan sedikit berteori menukil dua aras pendekatan “in order to” vs “motive to”. Ia seolah ingin menyampaikan kepada khalayak pembaca bahwa MH adalah orang yang sangat ilmiah.
Namun pada alinea berikutnya, pilihan diksinya sudah mulai acak-acakan (baca, belepotan). Logika yang ditampilkan tidak beraturan alias berantakan serta tidak berdialektika.
Sebagai contoh, warga Makassar diajak, bahkan terkesan dipaksa untuk tidak bertanya, apalagi menggugat tentang siapa dan dari mana asal-usul Danny Pomanto (DP). Ingat, dalam logika dialektika, seberapa sering orang diingatkan untuk tidak bertanya tentang siapa Danny Pomanto, maka tentu sesering itu pula orang mengingat bahwa Danny Pomanto memang benar sebagai putra Gorontalo, yang kebetulan maju sebagai bacalon walikota di Makassar.
Terkecuali jika karena kepentingan Pilkada, lantas (tim) Danny Pomanto mau mengingkari leluhurnya di Gorontalo. Contoh lain yang sedikit angkuh dan subyektif saudara Maqbul Halim menulis “Saya memandang, ini bukan tentang nasib dan masa depan Kota Makassar, tetapi tentang marabahaya yang sedang dilawan oleh Danny Pomanto di Pilkada Kota Makassar 2018”.
Marabahaya tersebut adalah keserakahan, ketamakan, dan kerakusan, yang pada jaman kolonial Belanda disingkat dengan akronim VOC. Di sini, logika MH sudah berantakan. Lantas kalau bukan tentang nasib warga dan masa depan Kota Makassar yang dibicarakan dalam Pilkada, lalu apa?
Bukankah Pilkada mensyaratkan adanya visi dan misi bacalon yang harus dikontestasikan? Ingat rule of the game Pilkada saat ini memungkinkan adanya bacalon yang melawan kotak kosong.
Artinya, bagi petahana yang super sukses dalam berkarya (bukan hanya sebatas ide) pun berpotensi tanpa lawan pada Pilkada. Kondisi Makassar saat ini, DP justru menghadapi arus besar DIAmi sebagai “musuh bersama warga Makassar”.
Kondisi dan situasi ini sejatinya oleh DP dijadikan sebagai bahan “ereksi, akronim dari evaluasi dan koreksi” tentang apa yang benar-benar sudah dilaksanakan selama ini di Makassar. Atau justru DP menghadapi keserakahan, ketamakan dan kerakusannya sendiri sebagai penjajah baru dari provinsi seberang bagi warga Makassar?
[NEXT]
Terbukti sudah sekian banyak staf dan bawahannya yang terjerat masalah hukum, tepatnya kasus paling menjijikkan di republik ini, yakni korupsi. Teranyar, Kepala BPKAD Pemkot Makassar, Erwin Hayya sedang mendekam di penjara.
Mencermati dan menganalisa (supaya keren sedikit, walaupun tidak dibutuhkan) tulisan MH sebagai tim media (squadron) DIA, maka beberapa kesimpulan dapat diambil :
– Maqbul Halim menarik turun grade Pilkada Makassar pada tataran kualitas demokrasi kasta terendah.
Sangat disayangkan sekali karena dia melakukannya bukan atas nama pribadi, melainkan sebagai tim inti DIAmi. Warga Makassar tidak perlu secara berulang diingatkan tentang siapa Danny Pomanto, baik asal-usulnya sebagai orang Gorantolo maupun sepak terjangnya. Tanpa diingatkan pun, di era serba terbuka saat ini, semua rekam jejak seseorang dengan mudah diketahui.
– Lawan pertama Danny Pomanto saat ini adalah bukan lawan kontestasi sesungguhnya dalam Pilkada, akan tetapi timnya sendiri. Salah satunya dan yang utama adalah MH.
MH membuka garis batas peperangan dan menempatkan Danny Pomanto berdiri paling depan untuk dihajar sampai babak belur. MH menggali lubang untuk mengubur Danny Pomanto.
-Jika gaya komunikasi politiknya seperti saat ini, maka dipastikan bukan menuai dukungan, akan tetapi simpatisan dan pendukung DIAmi akan berpaling ke Appi-Cicu. Gejala itu pun sudah mulai terlihat, ditandai gelombang eksodus relawan, komunitas, dan ujung tombaknya yakni RT/RW.
– Sebaiknya tim DIAmi mengingatkan Danny Pomanto agar dalam sisa waktu yang tersedia lebih fokus menuntaskan sejumlah janji-janji politiknya sebagaimana tertuang pada RPJMD 2014-2019.
Atau merapikan semua bukti-bukti yang dapat menjerat semakin banyak stafnya, serta dirinya ke dalam pusaran korupsi yang semakin berputar kencang, siap menyedot semua yang terindikasi.
– Semua itu jauh lebih baik ketimbang sibuk melempar isu-isu tidak produktif dan tidak mencerdaskan warga Makassar. Bahkan menjurus pada fitnah. Ingat, saat Anda menunjuk, satu jari telunjuk Anda mengarah ke orang lain, tiga jari Anda lainnya mengarah kepada diri Anda sendiri. (*)
Komentar