MASJID Sultan Ternate, atau oleh masyarakat setempat biasa disebut sebagai Sigi Lamo. Dalam bahasa Ternate, Sigi berarti masjid dan Lamo bermakna besar.
Masjid Sultan Ternate memang masjid pertama di Ternate dan terbesar di jaman nya. Masjid ini menjadi bukti keberadaan Kesultanan Islam pertama di kawasan timur Nusantara ini. Kesultanan Ternate mulai menganut Islam sejak raja ke-18, yaitu Kolano Marhum yang bertahta sekitar 1465-1486M.
Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500), yang makin memantapkan Ternate sebagai Kesultanan Islam dengan mengganti gelar Kolano menjadi Sultan, menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan, memberlakukan syariat Islam, serta membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Masjid Sultan Ternate atau Sigi Lamo berada di kawasan Jalan Sultan Khairun, Kelurahan Soa Sio, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Di bagian belakang masjid, terdapat benteng Oranye yang dibangun Belanda antara 1606-1607M.
Baca Juga :
Sejarah Masjid Sultan Ternate
Masjid Sultan Ternate antara tahun 1920-1930
Belum ada angka valid tentang kapan Masjid Sultan Ternate ini pertama kali dibangun. Sejauh ini ada dua pendapat tentang tarikh pendirian masjid ini. Diperkirakan pendirian masjid ini telah dirintis sejak masa Sultan Zainal Abidin, raja Ternate kedua yang sudah beragama Islam dan mengukuhkan Islam sebagai agama resmi kerajaan serta mengganti gelar kolano (raja) menjadi Sultan. Namun direktori masjid bersejarah Departemen Agama RI menyatakan bahwa pendirian Masjid Sultan Ternate baru dilakukan awal abad ke-17, yaitu sekitar tahun 1606 saat berkuasanya Sultan Saidi Barakati. Pembangunan masjid dilanjutkan oleh Sultan Mudafar dan diselesaikan oleh Sultan Hamzah pada tahun 1648 Masehi
[NEXT]
Pada tahun 1679 Masehi, dilakukan renovasi oleh Sultan Sibori Amsterdam, Putra Sultan Mandarsyah, dengan bentuk atap tumpang tiga dan berbahan kayu. Tahun 1705 masehi masjid ini mengalami kebakaran, dan dibangun kembali oleh Sultan Said Fathullah atau Kaicil Toluki atau Pangeran Rotterdam. Renovasi kembali dilakukan pada tahun 1818 Masehi oleh Sultan Muhammad Zain. Pemugaran terahir dilakukan pada tahun 1983 dengan melakukan perombakan total tanpa merubah bentuk asli.
Akan tetapi, melihat kenyataan sejarah, sekitar setengah abad sebelum Sultan Saidi Barakati naik tahta, Kesultanan Ternate telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di bidang keagamaan, ekonomi, maupun angkatan perang. Perjuangan Sultan Khairun (1534-1570) dilanjutkan oleh penerusnya, Sultan Baabullah (1570-1583) untuk mengusir pasukan Portugis, menjadi salah satu fase kegemilangan Kesultanan Ternate.
Masjid Sigi Lamo tampak depan (panoramio). Bentuk Gerbang multifungsi seperti masjid Sigi Lamo ini sudah sangat jarang dan sudah tak lagi di aplikasikan padabangunan bangunan masjid baru di Indonesia.
Bila kita berpegang kepada pendapat kedua bahwa Sigi Lamo baru didirikan di masa pemerintahan Sultan Saidi Barakati, maka akan timbul pertanyaan besar, mengapa begitu lama kesultanan Ternate belum mendirikan masjid sejak Islam masuk ke Ternate. Bila di hitung dari Kolano Marhum (1465-1486 M) yang merupakan raja Ternate pertama yang memeluk Islam hingga ke era kekuasaan Sultan Saidi Barakati (1606) terpaut waktu hampir satu setengah abad lamanya kesultanan Ternate belum memiliki Masjid, lalu dalam kurun waktu itu dimanakah para Sultan dan keluarga serta kaum muslimin Ternate melaksanakan sholat berjamaah ?. sebuah pertanyaan yang tentunya tak mudah untuk dijawab.
Arsitektur Masjid Sultan Ternate
Sebagaimana Kesultanan Islam lainnya di Nusantara, Masjid Sultan Ternate dibangun tak jauh dari istana Sultan Ternate, tetapi bukan menjadi bagian kompleks istana. Jarak antara keduanya sekitar 100 meter sebelah tenggara istana sultan yang dibangun tahun 1234M. Posisi masjid ini tentu saja berkaitan dengan peran penting masjid dalam kehidupan beragama di Kesultanan Ternate. Tradisi atau ritual-ritual keagamaan yang diselenggarakan kesultanan selalu berpusat di masjid ini. Masjid Sultan Ternate dibangun dengan komposisi bahan yang terbuat dari susunan batu dengan bahan perekat dari campuran kulit kayu pohon kalumpang.
Masjid Sultan Ternate dibangun diatas lahan berukuran 76,70 x 62,45 Meter dan bangunan berukuran 22 x 22,5 meter. Hampir menyerupai masjid tua di Jawa, lantai Masjid Agung Sultan Ternate juga ditinggikan. Bahan atap masjid pada awalnya menggunakan daun rumbia kemudian diganti dengan seng di tahun 1995.
[NEXT]
Atap masjid bertumpuk empat, dengan kemiringan yang tidak tajam, kecuali pada atap puncaknya. Di antara atap puncak dan atap bawahnya, terdapat celah kecil, untuk masuknya udara dan cahaya ke dalam ruagan. Pada setiap sisi atap puncak, terdapat jendela atap. Arsitektur ini nampaknya merupakan gaya arsitektur khas masjid-masjid awal di Nusantara, dimana masjid tidak memiliki kubah melainkan atap yang berbentuk limasan.
Saat ini, selain bangunan masjid yang masih utuh, peninggalan lain yang masih bisa ditemui di dalam masjid adalah empat buah koleksi kitab al-Quran, hasil tulisan ulama Ternate sendiri. Tulisannya masih jelas dan kertasnya masih baik, belum lapuk dimakan zaman, walaupun usianya sudah berabad-abad. Selama bulan Ramadan, al-Quran ini masih digunakan oleh masyarakat untuk /tadarusan/. Pada sisi selatan-timur masjid, terdapat sebuah sumur tua yang menyatu dengan masjid, digunakan untuk tempat berwudu.
Di halaman depan masjid, tepat pada sumbu garis mihrab, terdapat bangunan kecil bertingkat yang menjadi gerbang utama masjid. Di bagian atasnya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan beduk dan mengumandangkan azan. Bangunan ini berbentuk bujur sangkar, atapnya sama seperti atap bangunan utama masjid, namun hanya memiliki dua susun atap.
Larangan larangan
Berbeda dengan masjid pada umumnya, Masjid Sultan Ternate Sigi Lamo. Masjid ini terkenal unik karena memiliki aturan-aturan adat yang tegas, seperti larangan memakai sarung atau wajib mengenakan celana panjang bagi para jamaahnya, kewajiban memakai penutup kepala (kopiah), serta larangan bagi perempuan untuk beribadah di masjid ini. Berbagai aturan ini konon berasal dari petuah para leluhur (yang disebut Doro Bololo, Dalil Tifa, serta Dalil Moro) yang hingga kini masih ditaati oleh masyarakat Ternate, terutama di lingkungan istana kesultanan.
Menurut keterangan Imam Masjid Sultan Ternate yang bergelar Jou Kalem atau Kadhi, larangan-larangan tersebut memiliki dasar aturan yang kuat. Sejak dahulu, masjid memang menjadi salah satu tempat yang dianggap suci dan harus dihormati oleh masyarakat Ternate. Larangan kaum hawa untuk beribadah di masjid ini didasarkan pada alasan untuk menjaga kesucian masjid, yaitu supaya tempat ibadah ini terhindar dari ketidaksengajaan perempuan yang tiba-tiba saja datang bulan (haid). Di samping itu, kehadiran perempuan ditengarai juga dapat memecah kekhusyukan dalam menjalankan ibadah di masjid ini.
Sementara larangan bagi jamaah yang memakai sarung atau pakaian sejenisnya didasarkan pada alasan yang bersifat tasawuf. Menurut kepercayaan mereka, posisi kaki pria ketika salat dengan mengenakan celana panjang menunjukkan huruf Lam Alif terbalik yang bermakna dua kalimat syahadat. Hal ini sebagai perlambang bahwa orang tersebut telah mengakui ke-Esa-an Allah dan Muhammad sebagai utusannya, sehingga jiwa dan raganya telah siap untuk melaksanakan ibadah salat. Oleh sebab itu, setiap pria yang akan melaksanakan ibadah wajib mengenakan celana panjang.
Untuk menegakkan tradisi tersebut, setiap datang waktu salat, Balakusu (penjaga masjid) akan mengawasi setiap jemaah yang hendak memasuki masjid. Jika ada jamaah yang memakai sarung, maka akan ditegur dan disuruh mengganti dengan celana panjang. Jika tidak, maka jamaah tersebut disarankan untuk salat di tempat lain. Tak hanya wajib mengenakan celana, para jamaah juga diharuskan memakai penutup kepala atau kopiah. Hal ini agar para jamaah tidak terganggu oleh helai-helai rambut ketika sedang melakukan salat. Berbagai macam aturan ini berlaku tidak pandang bulu, sehingga harus ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk sultan dan para kerabatnya.
Tradisi Malam Qunut dan Kolano Uci Sabea
Salah satu tradisi yang setiap tahun diadakan di Masjid Sultan Ternate adalah Malam Qunut yang jatuh setiap malam ke-16 bulan Ramadhan. Dalam tradisi ini, sultan dan para kerabatnya dibantu oleh Bobato Akhirat (dewan keagamaan kesultanan) mengadakan ritual khusus yaitu Kolano Uci Sabea, yang berarti turunnya sultan ke masjid untuk salat dan berdoa.
[NEXT]
Kolano Uci Sibea dimulai dari istana menuju masjid untuk melaksanakan salat Tarawih. Sekitar pukul setengah delapan waktu setempat, sultan akan ditandu oleh pasukan kesultanan menuju masjid dan diiringi alunan alat musik Totobuang (semacan gamelan) yang ditabuh oleh sekitar dua belas anak kecil yang mengenakan pakaian adat lengkap di depan tandu sultan. Konon, alat musik ini merupakan pemberian Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) kepada salah satu Sultan Ternate yang berguru kepadanya.
Sebelum salat Tarawih dilakukan, para muadzin yang terdiri dari empat orang, mengumandangkan adzan secara bersama-sama. Menurut sebagian orang, ini untuk mengingatkan masyarakat Ternate tentang empat Soa (kelurahan pertama) di daerah Ternate. Empat Soa ini yaitu Soa Heku (Kelurahan Dufa-Dufa), Soa Cim (Kelurahan Makassar), Soa Langgar (Kelurahan Koloncucu), dan Soa Mesjid sultan sendiri.
Namun, ada juga yang percaya bahwa pengumandangan adzan oleh empat muadzin tersebut melambangkan empat kerajaan terkuat yang masih saling bersaudara di kawasan Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Keempat kerajaan ini dalam kepercayaan masyarakat setempat biasa disebut Moloku Kie Raha (pemangku empat gunung atau kerajaan).
Usai melaksanakan Tarawih, sultan akan pulang ke istana dengan ditandu kembali seperti ketika keberangkatannya ke masjid. Di istana sultan bersama permaisuri (Boki) akan memanjatkan doa di ruangan khusus, tepatnya di makam keramat leluhur. Usai berdoa, sultan dan permaisuri akan menerima rakyatnya untuk bertemu, bersalaman, bahkan menciumi kaki sultan dan permaisuri sebagai tanda kesetiaan. Tentu saja, pertemuan langsung antara sultan dan rakyatnya ini menarik minat masyarakat di seluruh Ternate dan pulau-pulau di sekitarnya.
[NEXT]
Dalam satu tahun, ritual Kolano Uci Sabea dilaksanakan empat kali, antara lain pada Malam Qunut, Malam Lailatul Qadar (keduanya pada bulan Ramadhan), serta pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pelaksanaan Kolano Uci Sabea dilakukan secara turun temurun oleh setiap Sultan Ternate hingga kini. Menurut kepercayaan, dalam kondisi apapun Kolano (Sultan) memang harus melakukan Sabea (salat) di Sigi Lamo (Mesjid Sultan).
Dihapusnya Tradisi larangan bagi perempuan
Hari Rabu tanggal 16 September 2009 bertepatan dengan tanggal 26 Ramadhan 1430 Hijriyah, Kolano (Raja) Ternate, Sultan Mudaffar Sjah, menghapuskan satu tradisi lama Masjid Sigi Lamo, yaitu tradisi yang melarang muslimah untuk sholat di Masjid Sultan Ternate atau Sigi lamo. Dalam ritual Kolano Uci Sabea tahun 2009M / 1430H menyambut datangnya malam Ela-ela atau Lailatul Qadar di masjid Kesultanan Ternate, Sultan Mudaffar Sjah mengajak serta Boki (permaisuri) Nita Budhi Susanti untuk salat di Masjid Sigi Lamo.
Bukan hanya itu saja, jika sebelum-sebelumnya hanya kolano (sultan) yang ditandu dari Istana menuju masjid, malam itu Boki Nita Budhi Susasti pun ikut ditandu menuju masjid Sigi Lamo. Bersama ratusan ibu-ibu dan remaja putri yang mengusungnya, Nita menjadi jamaah wanita pertama di masjid tersebut.
Meskipun tindakan Sultan tersebut sempat menjadi kontroversi di tengah masyarakat Ternate, namun Sultan kukuh dengan pendiriannya untuk menghapus tradisi tersebut, dalam pernyataannya kepada wartawan dan masyarakat, sultan semasa hidupnya mengatakan bahwa sebagai muslim beliau berusaha sekuat tenaga untuk patuh kepada tuntunan Rasulullah Muhammad SAW. Menurut sunnah Rasulullah bahwa sesungguhnya kewajiban salat bukan hanya bagi pria saja tapi juga untuk wanita. (*)
Komentar