Lintas Terkini

Penjelasan BMKG Soal Turbulensi Pesawat Etihad

Pesawat Etihad Airways EY 475 rute Jeddah-Jakarta alami turbolensi (Pramita Tristiawati/Liputan6.com)

JAKARTA – Pesawat Etihad Airways EY-474 jurusan Abu Dhabi-Jakarta mengalami goncangan hebat, Rabu 4 Mei 2016 sekitar pukul 13.00-14.00 WIB. Akibatnya, sedikitnya 31 penumpan terluka dan mendapat perawatan di rumah sakit.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofosika atau BMKG seperti dikutip dari situs resminya, bmkg.go.id menyatakan, kejadian yang dialami Pesawat Etihad akibat turbulensi di sekitar pulau Sumatera Bagian Selatan.

Pada ketinggian sekitar 37.000 feet pesawat bergerak ke atas dan ke bawah yang mengakibatkan penumpang yang sedang tidak berada pada tempat duduk terlempar ke atas dan ke bawah, serta barang-barang di dalam bagasi kabin terlempar berhamburan menimpa penumpang yang duduk.

Diperkirakan kekuatan goncangan turbulensi ini pada tingkat severe atau parah. “Pada level ini menurut Federal Aviation Adminstration (FAA) pesawat mengalami perubahan ketinggian dan arah yang besar sehingga pesawat tidak dapat terkontrol dalam beberapa saat,” tulis BMKG, Minggu (8/5/2016).

Di dalam pesawat, barang-barang dalam bagasi kabin akan terhambur keluar, penumpang yang duduk dengan seat belt terpasang akan merasakan terjepit parah. Sedangkan penumpang yang berjalan atau di toilet akan terlempar yang berakibat sangat fatal luka berat hingga kematian akibat benturan yang cukup keras.

BMKG menambahkan, turbulensi adalah fenomena aliran udara yang bervariasi pada jarak yang pendek. Fenomena di atmosfer ini terjadi akibat perbedaan atau ketidakteraturan kondisi suhu dan tekanan.

Fenomena skala kecil ini memiliki ukuran puluhan hingga ratusan meter, dengan waktu detik hingga beberapa menit, tetapi dapat berulang pada tempat yang sama atau daerah sekitarnya.

“Fenomena ini sangat sulit dideteksi oleh peralatan pengamatan konvensional, model cuaca ataupun satelit,” tulis BMKG.

Kejadian turbulensi terparah terjadi pada penerbangan United Airlines 826 dari Bandara Narita Jepang – Honolulu pada 1997. Seorang penumpang wanita meninggal, serta 19 penumpang dan kru pesawat mengalami keretakan tulang belakang dan leher.

Di Indonesia sendiri pernah tercatat turbulensi tingkat sedang pada ketinggian 34.000 – 39.000 feet diantara laut utara Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan di tahun 2007. Sebagian besar penerbangan pada jalur tersebut meminta untuk pindah jalur penerbangan lain.

Fenomena turbulensi ini terjadi pada daerah konvektif dan pada daerah cuaca cerah. Pada umumnya turbulensi akibat awan konvektif mampu diantisipasi oleh pilot karena pesawat akan berusaha menghindari awan CB yang terdeteksi oleh radar di kokpit.

Sedangkan untuk turbulensi pada area cuaca cerah seperti akibat mountain wave dan daerah vicinity atau dekat awan CB, baik yang sedang tumbuh maupun tingkat matang, umumnya kurang diantisipasi karena radar di kokpit kurang sensif karena minimnya jumlah partikel uap air di atmosfer.

Berdasarkan analisis citra satelit Himawari 8 produk jenis awan dan kanal 8,9,dan 10, antara pukul 13.00-14.00 WIB EY-474 tidak memasuki awan CB pada jalur penerbangan.

Kejadian ini disebut turbulensi cuaca cerah, Clear Air Turbulance (CAT), yang terjadi secara umum pada lapisan atas atmosfer (sekitar 30.000 – 50.000 feet).

Diindikasikan turbulensi tingkat severe ini kombinasi dari gelombang dekat Pegunungan Bukit Barisan di Sumatera Bagian Selatan dan awan CB di sekitar jalur penerbangan EY-474. (*)

(sumber : liputan6)

Exit mobile version