GELAR ksatria bertajuk “Knight Grand Cross in the Order of the Bath†yang diberikan Ratu Elizabeth II kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata tak membuat seluruh bangsa Indonesia bangga. Ada yang menganggap gelar ksatria itu tak layak disandangkan pada seorang pemimpin negara yang kerap abai dan kehadirannya jarang dirasakan rakyat yang tengah kesusahan.
Rakyat yang cinta pada pemimpin negaranya tentu akan merespons pemberian gelar kehormatan oleh pemimpin bangsa lain dengan rasa bangga. Seharusnya begitu. Ketika seorang pemimpin mendapat gelar kehormatan namun tak disambut dengan kebanggaan oleh rakyatnya, bahkan malah dicemooh, berarti ada yang salah pada diri pemimpin tersebut.
Mengapa ada rakyat Indonesia yang merespons demikian? Jawabannya: Presiden SBY dianggap tidak menunjukkan watak atau sikap seorang ksatria sejati yang bersedia dan berani membela rakyatnya yang hidup miskin, yang tanahnya dirampas saudagar tamak, yang upahnya tidak dibayar perusahaan, dan golongan lainnya yang bernasib tidak mujur.
Terlebih lagi pemberian gelar kehormatan –yang juga pernah diterima mantan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan– tersebut ditengarai terkait dengan kebersediaan Pemerintah Indonesia untuk menyetujui kerjasama ekonomi. Rakyat yakin gelar kehormatan tersebut dibarter dengan konsesi dari Pemerintah Indonesia kepada British Petroleum untuk proyek pembangunan dan pengolahan kilang LNG Tangguh di Papua Barat.
Pedang Seorang Ksatria
Bersama kekuasaan, melekat wewenang: setiap pemimpin memiliki wewenang untuk dapat melakukan segala tindakan yang berguna untuk rakyatnya. Bagi pemimpin, wewenang yang dimiliki ibarat sebilah pedang. Pemimpinlah yang memutuskan kapan pedang itu harus dihunus dari sarungnya, serta kapan dan kepada siapa pedang itu harus ditebas. Pemimpin yang bijak, yang berjiwa ksatria, tentu akan bijak menggunakan pedangnya.
Rakyat yang mengamanahkan kekuasaan pada pemimpinnya menginginkan pedang itu dipakai untuk melindungi mereka. Ketika rakyat berada di tengah ancaman, mereka ingin pemimpinnya menebaskan pedangnya untuk melumpuhkan kekuatan jahat yang hendak merongrong kedaulatan dan harga diri mereka dan negara.
Namun manakala pedang tersebut digunakan untuk membela musuh rakyat, maka tak layak pemegang pedang tersebut dianggap sebagai seorang ksatria. Ia lebih tepat disebut seorang pecundang tanpa harga diri, yang takluk pada ancaman pihak yang memusuhi rakyat. Pemimpin yang berjiwa ksatria tak akan menggunakan pedangnya untuk melindungi koruptor, termasuk jika yang menjadi koruptor adalah kerabat dekatnya.
Kemarahan rakyat selaku pemberi amanah juga dapat timbul ketika pedang yang dimiliki pemimpinnya dibiarkan saja di dalam sarung, tidak digunakan sama sekali. Padahal pemimpinnya tahu ada masalah dan rakyat membutuhkan pertolongannya. Rakyat yang terancam akibat eksploitasi tambang oleh perusahaan asing yang merusak lingkungan hidup dan tidak membawa manfaat bagi mereka, lalu berteriak memanggil pemimpinnya.
Mereka ingin pemimpinnya hadir ketika mendengar suara jerit minta tolong. Namun ketika pemimpinnya abai, atau sekadar menyikapi dengan berpidato di balik podium, rakyat tak dapat merasakan kehadiran pemimpinnya. Pedang itu dibiarkan saja.
Pemimpin yang berjiwa ksatria sejati, dengan wewenangnya, akan mencabut setiap kebijakan yang tidak memberi manfaat bagi rakyat atau bahkan membawa kerugian. Dengan pedangnya pula, seorang presiden berjiwa ksatrai akan menciptakan ketenteraman. Ketika ada dua lembaga penegak hukum tengah bertikai, ia hadir di tengah-tengahnya sebagai arbiter.
Ksatria yang sebenarnya, yang sejati, bukan hanya lantang bersuara. Tetapi berani membuat perhitungan dan menumpas monster-monster peneror rakyat. Ia tidak akan diam ketika negara lain melecehkan rakyatnya atau berani melanggar batas wilayah negaranya. Ia akan menghunuskan pedangnya untuk mengancam negara tetangga yang berani melakukan pelecehan terhadap harga diri bangsa melalui iklan yang menyatakan bahwa rakyatnya dapat dibeli sebagai babu. Tidak hanya protes di podium, ksatria sejati akan menebas pedangnya untuk membuat musuh menyesali tindakannya.
Seorang presiden belum tentu seorang ksatria. Namun ksatria sudah tentu layak dijadikan presiden. Seorang presiden berjiwa ksatria tidak dilihat dari gelarnya, tetapi dari sikap dan keberaniannya untuk berdiri di barisan paling depan membela rakyat. Juga mampu memberi rasa aman pada yang rakyat yang berada di tengah kepungan ancaman.
Dengan begitulah seseorang akan dianggap sebagai ksatria, kendati ia tak dikalungkan selempang kehormatan sebagai simbol ksatriaan: ia tetap dianggap sebagai seorang ksatria sejati walaupun orang yang menganggapnya tak pernah memberi gelar, tak pernah mengucap secara lisan, tetapi rasa takjubnya cukup di dalam hati.
Ksatria sejati tidak hanya sekadar memerintahkan pasukannya untuk melindungi mereka yang lemah. Dengan keberaniannya, ia akan berkuda ke sarang-sarang manusia miskin, ke kampung-kampung kumuh. Tak akan nyenyak tidurnya ketika membayangkan masih ada rakyatnya yang kedinginan di kolong jembatan. Dengan pedangnya, presiden berjiwa ksatria akan menebas kemelaratan, bukan menebas orang-orang yang mengalami kemelaratan.
Ketika seorang presiden dianggap gagal menjadi seorang ksatria oleh rakyatnya, maka ia harus berani mempertanggungjawabkan kegagalannya. Dan yang paling penting, jika dianggap gagal, seorang presiden yang berjiwa ksatria akan rela mundur dari jabatannya, melepas kekuasaan dan memberi pedangnya kepada orang yang benar-benar berjiwa ksatria sejati untuk memimpin rakyat. Begitulah seorang ksatria sejati!
Bisma Yadhi Putra
Anggota Bidang Kajian Politik pada Sekolah Demokrasi Aceh Utara
Komentar