JAKARTA– Sebanyak 3.074 kantor cabang bank umum tutup sejak 2015 sampai Maret 2021. Hal itu tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyebutkan bahwa penutupan itu terjadi akibat peningkatan transaksi digital.
Akibatnya, kondisi tersebut membuat bank ‘gulung tikar’ sehingga mereka harus menutup kantor cabang mereka dipelbagai belahan Indonesia.
Deputi Direktur Basel dan Perbankan Internasional OJK Tony, mengatakan penutupan jumlah kantor cabang bank yang pada 2015 mencapai 32.963, turun menjadi 32.730 pada 2016 hingga akhirnya tinggal tersisa 29.889 per Maret 2021.
Baca Juga :
“Beberapa tahun terakhir akibat semakin maraknya transaksi bank melalui mobile. Ini berdampak bagi masyarakat sehingga semakin jarang ke kantor cabang bank,”kata Tony di diskusi bertajuk Kolaborasi Bank Digital dan Fintech secara virtual dikutip CNNIndonesia, Kamis (10/6/2021).
“Bank jadi melihat pendirian kantor cabang menjadi tidak efisien dan mereka mulai menutup sejumlah kantor dan mulai beralih ke pelayanan elektronik atau digital banking,” imbuhnya.
Tony menyebut, bahwa peningkatan transaksi digital bank salah satunya terjadi pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI. Bank tersebut, kata dia, telah mencatat pertumbuhan transaksi internet banking 132,2 persen secara tahunan pada Desember 2020.
Bahkan, pertumbuhan transaksi di aplikasi bank, BRIMO mencapai 660,5 persen secara tahunan pada periode yang sama.
“Sementara bank-bank lain, setidaknya mencatat pertumbuhan transaksi mobile dan internet banking sekitar 50 persen pada penghujung tahun lalu, seperti PT Bank Central Asia Tbk atau BCA, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, dan PT Bank Permata Tbk,” urainya.
Data lain dari Bank Indonesia (BI) mencatat transaksi digital banking di Indonesia meningkat dari Rp1.708 triliun pada 2017 menjadi Rp2.259 triliun pada 2018, Rp2.436 triliun pada 2019, dan Rp2.775 triliun pada 2020.
“Peningkatannya sejalan juga dengan transaksi di e-commerce mencapai Rp266,3 triliun pada 2020,” ungkap Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Ricky Satria pada kesempatan yang sama.
Tony kembali menjelaskan, bahwa tingginya pertumbuhan transaksi digital tentunya tak hanya sebatas membuat bank mengurangi kantor cabangnya. Sebab, kata dia, fenomena itu juga mendorong bank menyulap diri menjadi bank digital.
Saat ini, OJK mencatat ada tujuh bank yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi bank digital.
“Sampai saat ini ada tujuh bank yang dalam proses go-digital dan ada lima bank yang sudah menobatkan diri atau menyatakan diri menjadi bank digital,” katanya.
Adapun tujuh bank tersebut adalah Bank BCA Digital, PT BRI Agroniaga Tbk, PT Bank Neo Commerce Tbk, PT Bank Capital Tbk, PT Bank Harda Internasional Tbk, PT Bank QNB Indonesia Tbk, dan PT KEB HanaBank.
Sementara lima bank yang sudah menjadi bank digital, yaitu Jenius dari Bank BTPN, Wokee dari Bank Bukopin, Digibank dari Bank DBS, TMRW dari Bank UOB, dan Jago dari Bank Jago.
Kendati begitu, Tony menekankan perubahan model bisnis bank ini tidak membuat regulator membuat standar izin yang berbeda.
Sebab, pada intinya seluruh indikator izin bagi setiap bank tetap harus dipenuhi.
“Seringkali ada pertanyaan apakah ada lisensi tersendiri terhadap bank digital? Tidak ada lisensi tersendiri, tapi perubahan bisnis model atau cara mereka melakukan pelayanan kepada masyarakat tetapi tidak akan mengubah perizinan tadi, perizinan tetap bank umum atau BPR,” pungkasnya.(*)
Komentar