JAKARTA – Setelah Pulau Pari yang ditempati warga berpuluh tahun diklaim dikuasai oleh perusahaan swasta di pulau itu, warga kembali mendapatkan perlakuan teror dari oknum aparat kepolisian. Teror tersebut terjadi setelah dilakukan penangkapan masyarakat di Pulau Pari, Kepulauan Seribu oleh aparat kepolisian dengan senjata lengkap.
Sekitar 50 personil kepolisian mendatangi pos Pantai Perawan di Pulau Pari. Mereka menangkap 6 (enam) orang masyarakat yang sedang berjaga mengawasi pengunjung di Pantai Perawan. Penduduk yang ditangkap tersebut masing-masing Mustagfirin alias Boby, Bahrudin alias Edo, Irwan, Subhan, Martono dan satu orang anak berusia 14 tahun. Mereka ditangkap dengan tuduhan telah melanggar Pasal 368 KUHP tentang pungutan liar (pungli).
“Padahal sesuai dengan UU nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan pulau-pulau kecil, masyarakat lokal memiliki hak untuk mengelola wilayahnya,” ujar Karsidi dari LBH Rakyat Banten.
Santernya pemberitaan tentang privatisasi Pulau Pari oleh Perusahaan Bumi Pari Asih (BPA) dalam beberapa bulan ini menjadi sebuah keresahan di tengah-tengah warga Pulau Pari. Masyarakat yang mencari keadilan terkait dengan hak tinggal di Pulau tersebut sudah diketahui oleh KSP, Komnas HAM, Ombudsman dan masyarakat luas, sehingga upaya preventif perusahaan untuk mengusir penduduk yang mendiami kepulauan seribu tersebut semakin gencar dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan aparatur negara.
Tidak bisa dilepaskan penangkapan masyarakat Kepulauan Pari tersebut adalah upaya kriminalisasi oleh perusahaan dengan dalih pungutan liar. Sedangkan pungutan terhadap pengunjung di Pulau Pari tersebut adalah upaya masyarakat menjaga pulau itu, sehingga terlihat bersih, tertata, dan terawat dikarenakan tidak adanya satuan kerja yang bekerja membersihkan pulau tersebut, selain oleh masyarakat yang mendiami Pulau Pari.
[NEXT]
Sesuai dengan surat yang dikirimkan Komnas HAM kepada Bupati Kepulauan Seribu bahwa Komnas HAM memberikan perhatian khusus terkait hak masyarakat yang mendiami Kepulauan Seribu, berlandaskan pasal 36 ayat 1, pasal 30, pasal 29 ayat 1, pasal 11, pasal 9 dan pasal 71 Undang-undang HAM nomor 39 tahun 1999.
“Oleh karena itu perusahaan mencari celah untuk menekan masyarakat melalui upaya kriminalisasi tersebut,” papar Karsidi.
Lebih lanjut dikatakan, laporan masyarakat kepada Ombudsman juga menjadi pemicu perusahaan untuk mengkriminalisasi kembali masyarakat termasuk upaya pengusiran paksa warga. Pasca putusan pidana oleh pengadilan yang diduga sebagai bentuk kriminalisasi terhadap warga yang menyasar Edi Priadi, warga Pulau Pari.
Kasus tersebut dimana pihak perusahaan BPA mengklaim bahwa tanah yang ditempati Edi Priadi tersebut adalah tanah perusahaan. Namun klaim itu tidak pernah dibuktikan dalam perkara perdata oleh perusahaan. (*)