MAKASSAR – Empat dari enam media massa yang digugat di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan, yakni Antara News, Makassar Today, Kabar Makassar, dan RRI menjawab gugatan pemberitaan hasil konferensi pers tentang pernyataan yang menyebut M. Akbar Amir bukan keturunan Raja Tallo.
“Ini kan sidang jawaban, sekaligus eksepsi kami tim dari kuasa hukum tergugat, kami telah mengajukan jawaban, sekaligus eksepsi. Ada empat hal yaitu persoalan gugatan tidak berdasar hukum, kemudian kurang pihak, obsurt, dan kedaluwarsa,” kata penasehat hukum tergugat Muhammad Fakhruddin SH.MH salah satu anggota Tim Pembela Kebebasan Pers Sulawesi Selatan ketika ditanya wartawan usai persidangan di PN Makassar, Kamis (12/5/2022).
Sidang lanjutan gugatan perdata terkait pemberitaan itu dipimpin oleh majelis hakim dan hanya mengagendakan penyampaian surat jawaban atas materi gugatan yang dilayangkan M Akbar Amir beserta penasehat hukumnya.
Baca Juga :
Dari enam media tergugat, perwakilan dari dua media yakni Terkini News dan Celebes News tidak menghadiri persidangan atau tidak menggunakan haknya di pengadilan.
Perkara tersebut terdaftar di PN Makassar dengan No: 1/Pdt G/2022/PN Mks tertanggal 5 Januari 2022.
Penggugatnya yakni M Akbar Amir beserta Penasehat Hukumnya dari Mh-Isra & Partners Law Firm, terdiri dari Muh Israq Mahmud S.Hi, CLA.Cil (Ketua Tim), beranggotakan Hasyim Hasbullah SH, Laode Mustafa SH, Abdul Gafar SH, Andi Jamal Kamaruddin SH, Andi Hasruni SH, Mukadi Saleh SH, dan Muhammad Hazman.
Sidang pertama di PN Makassar sesuai surat panggilan sidang, digelar Kamis 8 Januari 2022, kemudian sidang-sidang berikutnya hingga memasuki tahapan mediasi sejak 17 Februari 2022, namun pada akhirnya tahapan mediasi dianggap gagal karena Penggugat hanya mau berdamai dengan sebagian tergugat, sementara Majelis Hakim tidak dapat menerima hal tersebut, kecuali Penggugat mencabut perkaranya.
Kini, proses persidangan memasuki tahapan pokok perkara yakni penyampaian jawaban tergugat atas gugatan perdata dengan dalil perbuatan melawan hukum tersebut.
Empat dari enam media massa tergugat telah menyampaikan jawaban tersebut kepada Majelis Hakim yang menangani perkara dan juga kepada pihak Tergugat, pada sidang yang digelar Kamis 12 Mei 2022.
Dalam materi gugatannya, pihak penggugat menggunakan dasar dan alasan melayangkan gugatan yakni pemberitaan yang menyebut M. Akbar Amir bukan keturunan Raja Tallo.
Berita tersebut diperoleh wartawan enam media tersebut dari hasil konferensi pers yang digelar Pembela Kesatuan Tanah Air Indonesia Bersatu (PEKAT) di Hotel Grand Celino Makassar, pada 18 Maret 2016, dimana yang bertindak sebagai narasumber yakni dua orang keturunan langsung dari Raja Tallo, H Andi Rauf Maro Daeng Marewa dan Hatta Hasa Karaeng Gajang.
Upaya konfirmasi juga telah dilakukan pihak media saat itu, tetapi tidak mendapat respons dari penggugat. Namun, berselang lima tahun lebih, muncullah surat gugatan perdata M. Akbar Amir yang didaftarkan ke PN Makassar.
Terkait persoalan gugatan tersebut, Fakhruddin bersama Tim Pembela Kebebasan Pers Sulawesi Selatan yakni Muhammad Hasman PH (Raja) dan Samsul Asri SH MH mengatakan bahwa kehadiran mereka di PN Makassar itu jelas untuk memperjuangkan nasib pers yang hendak dibelenggu melalui gugatan perdata.
“Kami hari ini benar-benar memperjuangkan nasib pers, kebesaran pers dan kebebasan dari masyarakat (berpendapat). Semua instansi pemberitaan wajib memberitakan kepada khalayak ramai, tentunya dengan sumber yang jelas. Dalam perkara ini, teman-teman media sudah menghasilkan karya jurnalistik, dan kami anggap sudah sesuai dengan kaidah hukum,” ujarnya.
Hal serupa dikemukakan Samsul Asri SH MH mengatakan selama ini sejumlah media yang digugat tak pernah menerima hak jawab, hak koreksi atau surat keberatan dan somasi dari penggugat.
“Jadi kami perlu klarifikasi bahwa penggugat hingga saat ini belum pernah menggunakan hak koreksi, hak jawab dan atau somasi kepada media yang digugat,” kata Samsul dibenarkan Hasman.
Samsul Asri SH MH menambahkan, kasus ini sebenarnya adalah berita yang diperkarakan penggugat merupakan karya jurnalistik yang mestinya diselesaikan di Dewan Pers.
“Intinya kita tidak ingin ada kasus seperti ini lagi di Sulsel bahwa Berita kedulawarsa, masih dipersoalkan secara hukum tanpa melihat konteks bahwa kasus ini ranahnya pemberitaan,” ujarnya.
Untuk diketahui, pihak tergugat juga telah melakukan koordinasi kepada Dewan Pers untuk menanggapi kasus ini secara tertulis agar menjadi pertimbangan hakim di PN Makassar.
Gugatan Para penggugat terhadap enam media tersebut, kata Samsul, dipastikan terkait pemberitaan, yaitu hasil Konferensi Pers terkait status Raja Tallo, tertanggal 18 Maret 2016, (sebagaimana dituangkan dalam poin 12 salinan surat gugatan dari Penggugat).
Berita yang dimaksud adalah hasil Konferensi Pers (tergambar dalam foto narasumber pada berita), dimana semua isi pemberitaan berdasarkan keterangan dari narasumber, sebagaimana yang dimaksud Penggugat.
Dengan demikian, karena materi ini terkait pemberitaan, seharusnya ini masuk dalam pranata hukum Pers sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, yang mengatur tentang sengketa pemberitaan, yakni Pasal 1 ayat 11 dan 12 tentang hak yang diberikan oleh UU Pers untuk digunakan sebagai bagian dari fungsi UU Pers itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) adalah lex specialis (hukum yang lebih khusus), Sehingga dalam hal terdapat suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers.
UU Pers juga merupakan ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik: mulai dari mencari, memilah, dan memberitakannya sampai ke mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers.
Oleh karena itu, penyelesaian sengketa pemberitaan juga mengacu pada Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers.
Mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh dalam hal terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah melalui hak jawab (Pasal 5 ayat [2] UU Pers) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat 3 UU Pers).
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar.
Implementasi pelaksanaan Hak Jawab tersebut mengacu pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (Kode Etik Jurnalistik) (sebagai kode etik wartawan yang baru), yang menyatakan bahwa “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.
Selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat 2 huruf d UU Pers). Salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. (*)
Komentar