MAKASSAR – Polemik yang terjadi di tubuh Kampus Universitas Pejuang Republik Indonesia (UPRI), yang sebelumnya bernama Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) tak kunjung usai. Menyikapi hal itu, ratusan massa mahasiswa kembali menggelar aksi unjuk rasa (demonstrasi) dengan mengepung Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Selatan di Jalan Urip Sumoharjo Makassar, Selasa (14/3/2017).
Polemik yang berlarut-larut terjadi akibat adanya dualisme kepemilikan yayasan yang menaungi Kampus UPRI tanpa ada upaya Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) untuk menjembatani persoalan tersebut.
Melihat kondisi atau fakta di lapangan, mahasiswa sebagai kontrol sosial (social of control) dan pembawa pembaharuan tentunya sudah menjadi kewajiban menyikapi polemik yang terjadi. Apalagi polemik tersebut dianggap sangat merugikan mahasiswa di kampus itu.
Jenderal Lapangan Rhoni mengatakan, Pemerintah pusat dalam hal ini lembaga pendidikan, seharusnya mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada suatu kampus. Seperti yang terjadi di internal Kampus UPRI yang sampai saat ini belum terselesaikan. Meskipun Pemerintah telah mencoba memberi solusi terhadap dualisme Kampus UPRI tersebut dengan melakukan perubahan nama dari UVRI menjadi UPRI.
“Kami menilai Pemerintah dalam hal ini kemenristek Dikti tidak jeli melihat persoalan internal yang terjadi di Kampus UPRI, meskipun telah dilakukan pergantian nama dari UVRI menjadi UPRI. Persoalan kampus saat ini belum dituntaskan, apalagi dengan keluarnya SK menteri Riset dan Pendidikan Tinggi nomor 3/M/KP/I/2015 pada tanggal 9 Januari 2017 5 tentang izin mendirikan pendirian Universitas Pejuang RI.
“Surat yang dikeluarkan oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi malah menambah permasalahan baru karena isi SK Kementrian bukan merupakan perubahan nama, melainkan pendirian kampus baru yang bernama UPRI,” Ujar Rhoni.
Melihat kondisi itu, maka mahasiswa menganggap bahwa apa yang dikeluarkan oleh Pemerintah salah kamar atau boleh dikatakan adalah salah tempat atau boleh juga dikatakan betul sebagai kampus baru, tetapi tidak berhak menaungi sebagai mahasiswa UVRI yang harusnya beruba nama bukan sebagai pendirian kampus baru UPRI.
{NEXT]
Bedasrkan hal tersebut diatas, maka kami selaku mahasiswa penyelamat UVRI dan perubahannya meyatakan sikap bahwa :
1) Meminta kepada Presiden RI dan Kemenristek Dikti mengevaluasi SK Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi nomor 3/M/KP/I/2015 pada tanggal 9 Januari 2017 5 tentang izin mendirikan pendirian Universitas Pejuang RI, yang bukan perubahan nama dari UVRI ke UPRI.
Mahasiswa juga meminta kepada yayasan yang berhak menaungi UVRI yang berdiri tahun 1962, serta perubahannya menjadi UPRI, karena menbuat ketimpangan di birokrasi sehingga berdampak besar pada mahasiswa dan alumni UVRI.
2) meminta Kemenristek Dikti agar mencocpot Koordinator dan Sekretaris Pelaksana Kopertis Wilayah IX Makassar yang tidak netral, menyikapi adanya dualisme yayasan di Kampus Antang dan Kampus Bawakaraemng yang sangat merugikan sebagai Mahasiswa UVRI .
3 Mengecam tindakan yayasan yang tidak berhak menaungi mahasiswa sebagai mahasiswa UPRI dengan menggunakan premanisme untuk membungkam aspirasi mahasiswa.
4) Meminta kepada DPRD Makassar agar kiranya membantu mengawal penyelesaian permasalahan di kampus UPRI, yang sangat merugikan sebagai mahasiswa generasi penerus bangsa.
Aksi demontrasi mahasiswa UPRI kembali akan digelar di Kopertis Wilayah IX Makassar. Hal itu dilakukan untuk mendorong percepatan penyelesaian atau polemik yang terjadi diinternal kampus kuning tersebut. (*)