Logo Lintasterkini

Polemik Penempatan TNI di Kejaksaan: Antara Sinergi, Kontroversi, dan Prinsip Demokrasi

Muh Syukri
Muh Syukri

Kamis, 15 Mei 2025 11:27

Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat Irjen Pol (P) Drs Frederik Kalalembang
Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat Irjen Pol (P) Drs Frederik Kalalembang

JAKARTA – Rencana penempatan personel TNI di lingkungan Kejaksaan Agung kembali mencuat seiring dengan pembahasan revisi Undang-Undang TNI. Wacana ini memicu perdebatan hangat, terutama menyangkut prinsip supremasi sipil dan batasan peran militer dalam ranah penegakan hukum sipil.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Irjen Pol (Purn) Drs. Frederik Kalalembang, Kamis (15/5/2025) menyampaikan keprihatinannya terhadap arah kebijakan tersebut. Dalam pernyataannya, ia menekankan pentingnya menjaga profesionalisme institusi militer dan penegak hukum dengan tidak mencampuradukkan fungsi yang telah diatur secara tegas dalam konstitusi dan perundang-undangan.

“Penempatan personel TNI di Kejaksaan harus dikaji secara mendalam agar tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil,” ujar Frederik Kalalembang.

Ia juga menyoroti bahwa penempatan ini justru dapat mengganggu tujuan utama TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional. Frederik mencontohkan situasi di Papua yang hingga kini belum kunjung selesai. Banyak korban berjatuhan akibat gangguan kelompok bersenjata (KKB), dan sebagian analis menilai hal ini disebabkan oleh kurangnya kesiapan personel TNI baik dari segi pelatihan maupun kecukupan informasi taktis di lapangan.

“Kita berharap TNI tetap profesional. Apalagi di wilayah seperti Papua, seharusnya perhatian lebih diberikan. Bukan hanya mengganti personel yang berjaga di pos, tetapi memastikan mereka dibekali latihan dan kemampuan memadai. Bagaimana mungkin kita bisa harapkan keunggulan tempur, kalau sebagian prajurit justru ditugaskan berjaga di kantor kejaksaan?” ujar Frederik.

Data menunjukkan bahwa sepanjang 2024, sebanyak 37 personel TNI-Polri menjadi korban saat menangani kelompok kriminal bersenjata (KKB), baik penembakan maupun penganiayaan hingga menyebabkan korban meninggal dan terluka. Dari jumlah tersebut, 16 anggota TNI gugur dan terluka, sisanya 11 orang anggota Polri, delapan orang di antaranya gugur. Untuk masyarakat, tercatat 29 orang meninggal dan 27 orang lainnya luka-luka.

Lebih lanjut, Frederik menilai bahwa penempatan TNI di ranah sipil berisiko menciptakan kegelisahan sosial. Ia mencermati munculnya keresahan masyarakat terhadap kehadiran militer di ruang-ruang publik non-pertahanan, yang bisa menimbulkan suasana psikologis penuh ketakutan, dan bahkan berdampak pada iklim ekonomi.

“Situasi sosial bisa ikut terpengaruh. Masyarakat bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Kenapa TNI masuk ke kejaksaan? Ini bisa menciptakan ketegangan yang mengganggu kestabilan, termasuk di sektor perdagangan yang kini sudah mulai lesu,” jelasnya.

Sementara itu, pemerintah diketahui tengah merancang pembentukan 100 batalyon TNI baru, yang secara logika membutuhkan tambahan besar personel militer. Namun Frederik mempertanyakan konsistensi arah kebijakan tersebut.

“Baru saja kita bicara soal kebutuhan batalyon dan kekurangan personel, tapi di sisi lain justru mengalihkan anggota ke kantor-kantor sipil. Ini seperti menghamburkan sumber daya yang seharusnya difokuskan pada tugas pokok TNI. Jangan sampai ini jadi kebijakan tambal sulam yang justru menimbulkan kontroversi baru,” tegasnya.

Sinergitas Antar Lembaga Penting

Ia menambahkan bahwa semangat sinergi antar lembaga negara tentu penting, namun bentuknya tidak boleh melanggar batas fungsi institusional. Kehadiran militer di lingkungan kejaksaan, menurutnya, harus sangat terbatas, berbasis kebutuhan konkret, dan dalam koridor hukum yang ketat.

“Penguatan Kejaksaan bisa dilakukan tanpa menghadirkan potensi bias kewenangan. Kewibawaan lembaga harus dibangun dari integritas dan profesionalisme, bukan pengawalan bersenjata. Membangun Kejaksaan yang kuat bisa dilakukan dengan memperkuat sistem keamanan internal, teknologi, serta integritas aparatnya. Bukan dengan mengimpor personel dari lembaga militer,” tegas Frederik.

Sebagai mantan perwira tinggi Polri yang lama bergelut di dunia penegakan hukum, Frederik menekankan bahwa dalam kondisi normal, supremasi sipil harus tetap menjadi prinsip utama tata kelola negara demokratis.

Frederik menyerukan agar revisi UU TNI jangan dijadikan pintu masuk untuk melemahkan prinsip-prinsip reformasi dan demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah selama dua dekade terakhir. (*)

 Komentar

 Terbaru

News22 November 2025 21:06
Hari Kesehatan Nasional ke-61 Gubernur Sulsel Apresiasi Pengabdian Tenaga Kesehatan
MAKASSAR  – Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman memimpin Upacara Peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-61 yang mengusung tema ...
News22 November 2025 20:10
Akad Nikah Fikar & Falih: Momen Sakral yang Menyatukan Dua Keluarga Besar
MAKASSAR — Pernikahan dua keluarga besar tokoh Sulawesi Selatan berlangsung dalam suasana penuh haru dan kebahagiaan. Prosesi akad nikah pasangan Zu...
Ekonomi & Bisnis22 November 2025 02:37
IOH Rayakan Perjalanan ke -58 Tahun, Perkuat Komitmen Hadirkan AI Lebih Inklusif
JAKARTA – Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat atau IOH) menandai perjalanan 58 tahun dengan menegaskan transformasi perusahaan menuju AI TechCo y...
Ekonomi & Bisnis22 November 2025 02:31
Resmi Dibuka, Forum Ekonomi Regional 2025 Kabar Grup Sorot Pilar Baru Ekonomi Nasional
MAKASSAR – Forum Ekonomi Regional Indonesia Timur 2025 yang digagas Kabar Group Indonesia resmi dibuka di Ballroom UNHAS Hotel & Convention deng...