MAKASSAR – Kecurangan bukan hanya terjadi pada Klinik Pengemudi (Klipeng) di Satlantas Polrestabes Makassar. Ada pula bentuk kecurangan yang diduga kerap dilakukan oknum kepolisian melalui mekanisme Tilang (bukti pelanggaran lalu lintas tertentu).
Sesuai penelusuran Lintas Terkini, diduga ada sejumlah oknum yang dengan sengaja memanfaatkan Tilang untuk meraup keuntungan. Baik untuk pribadi maupun golongan tertentu.
Mekanisme tilang pun dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana mestinya. Fatalnya, karena yang dikorbankan adalah pelanggar yang memang dihadapkan dengan posisi terjepit atau tidak punya pilihan. Selain karena melakukan pelanggaran, korban pun tidak mengetahui mekanisme yang ada.
Ada pun bentuk kecurangan yang dilakukan oleh oknum di Satlantas Polrestabes Makassar di bagian tilang sangat bervariasi. Mulai dari manipulasi uang titipan pelanggar, hingga nego-nego pelanggaran yang dibayar di tempat.
Berdasarkan UU no. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, Tilang atau bukti pelanggaran lalu lintas tertentu, adalah salah satu bentuk acara pemeriksaan cepat yang diberlakukan khusus terhadap pelanggaran – pelanggaran Lalu Lintas tertentu. Adapun kriteria jenis pelanggarannya meliputi, pelanggarannya secara kasat mata dan mudah diketahui, tidak perlu alat untuk membuktikan serta tidak memerlukan keterangan ahli.
Bentuk dan format tilang merupakan berita acara yang disederhanakan sehingga dalam tilang tercantum catatan Polisi tentang, identitas pelanggar, jenis pelanggaran, lokasi pelanggaran, barang bukti yang diminta, waktu pelaksanaan sidang, pada sebaliknya ada catatan untuk Pengadilan dan Kejaksaan. dan data penindak lengkap dengan tanda tangan.
Tilang terdiri dari lima lembar yang berlainan warna. Antara lain merah dan biru untuk pelanggar, hijau untuk Pengadilan, putih untuk Kejaksaan dan kuning untuk Polri. Ada pun fungsi Tilang yakni, sebagai surat panggilan ke Pengadilan Negeri, sebagai pengantar untuk pembayaran denda ke Bank / Panitera dan sebagai tanda penyitaan atas barang bukti yang disita (berupa SIM, STNK, Ranmor).
Adapun kecurangan yang dilakukan oknum polisi di Satlantas Polrestabes Makassar, sesuai penelusuran antara lain, uang titipan yang diserahkan pelanggar lebih besar dari pada putusan pengadilan. Lalu kemudian, kelebihan uang titipan tidak diberitahukan kepada pelanggar.
Padahal, sesuai dengan Pasal 268 ayat (1) UU no 22 tahun 2009, menyebutkan, dalam hal putusan pengadilan menetapkan pidana denda lebih kecil daripada uang denda yang dititipkan, sisa uang denda harus diberitahukan kepada pelanggar untuk diambil. Sementara ayat (2) menjelaskan sisa uang denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak diambil dalam waktu 1 (satu) tahun sejak penetapan putusan pengadilan disetorkan ke kas negara.
Namun kenyataannya, setiap pelanggar yang dikenakan tilang di jalan tidak pernah diberitahukan mengenai kelebihan uang titipan. Bahkan, tidak ada bukti penitipan uang denda. Padahal, sesuai dengan pasal 267 ayat (5) UU no 22 tahun 2009 menyebutkan, bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam berkas bukti pelanggaran.
“Saya ditilang di Jalan Cenderawasi bulan Agustus lalu. Pelanggaran saya karena salah satu lampu depan motor tidak menyala. Oknum polisi yang melakukan sweeping saat itu meminta menyerahkan uang Rp 250 ribu dan langsung saya kasih,” ujar Usan, salah seorang pengendara sepeda motor.
Warga Jalan Mallengkeri itu mengaku setelah menyerahkan uang titipan tilang, tidak pernah lagi mengetahui kelanjutan soal pelanggaran lalulintas yang dilakukannya. Apakah, sudah melalui pengadilan atau tidak. Bahkan, apakah uang titipan memiliki kelebihan atau tidak.
Praktik kecurangan ini pun sudah berlangsung sejak lama. Belum lagi, data tilang yang diserah ke pengadilan lebih kecil dengan data tilang yang masuk ke Polrestabes Makassar. Termasuk, putusan pengadilan untuk setiap pelanggaran rata-rata dikenakan denda di bawah Rp 100 ribu. Lalu, kemana kelebihan uang titipan itu?
Bayangkan saja, jika setiap hari pelanggar lalulintas di wilayah Polrestabes Makassar sebanyak 10 orang. Dalam sebulan mencapai 300 bukti pelanggaran. Jika seorang pelanggar memberikan uang titipan Rp 250 ribu kepada petugas, jadi sebulan terdapat Rp 75 juta uang titipan.
Sementara, rata-rata denda untuk setiap pelanggaran yang diputus pengadilan hanya berkisar Rp 100 ribu. Itu berarti, hanya sekitar Rp 30 juta denda yang diserahkan ke pengadilan. Lalu, kemana Rp 45 juta?
Untuk diketahui, hingga pekan kedua di bulan September ini, sedikitnya ada sekitar 200 kendaraan bermotor yang telah disita maupun ditilang oleh jajaran Polrestabes Makassar. Kendaraan itu terjaring dalam operasi yang makin gencar di lakukan aparat kepolisian pasca teror di Solo beberapa waktu terakhir.
Wakil Ketua Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Sulsel, Andi Baso Tenri Gowa, Sabtu (15/9/2012) mengatakan, praktik kecurangan seperti ini sepertinya terjadi karena masyarakat tidak disampaikan atau disosialisasikan mengenai uang titipan. Namun juga, kata dia, tidak adanya pengawasan dari pimpinan tertinggi atau lembaga lain.
“Polisi juga jangan menutup diri untuk menjelaskan berbagai mekanisme yang ada kepada masyarakat. Termasuk, bagaimana kedudukan uang titipan tilang tersebut,” ungkapnya.
Mengenai praktik curang tersebut, LCKI meminta agar dilakukan pengusutan terhadap oknum-oknum yang ada di Satlantas Polrestabes Makassar. Agar supaya, menjadi pelajaran kepada anggota kepolisian lainnya. Termasuk diusut, kelebihan uang titipan itu dibawa ke mana.
Hal yang sama diungkapkan Sekretaris Komisi Nasional Pengawasan Aparatur Negara (Komnas Waspan) Republik Indonesia, Nasution. Ia mengaku akan menyerahkan temuan kecurangan yang ada di Satlantas Polrestabes Makassar ke KPK dan Mabes Polri. “Hal ini perlu diusut tuntas,” tandasnya. (tim)
Komentar