Lintas Terkini

Wisata Akhir Pekan di Kota Tua Hingga Stasiun Sejarah

Suasana Kota Tua di Jakarta

JAKARTA – Kota Jakarta dengan salah satu landmarknya yakni Kota Tua adalah pesona wisata sejarah di Jakarta yang memberi banyak pengetahuan, khususnya jika Anda masuk ke Museum Fatahillah dan sejumlah spot menarik lainnya di sana.

Kawasan Kota Tua yang dulu bernama Batavia Lama adalah tempat yang menyimpan nilai sejarah tinggi. Berbagai peninggalan masa lampau masih dapat Anda jumpai di kawasan yang selalu ramai saat akhir pekan ini.

Wisata Kota Tua sangat tepat bagi Anda para penikmat sejarah atau yang suka menelusuri jejak historis. Juga, para pecinta fotografi akan selalu suka datang ke Kota Tua di Jakarta ini.

Tidak hanya wisatawan dalam negeri, para turis yang datang ke Jakarta bahkan suka menjejakkan kakinya di tempat wisata Kota Tua. Ini tak terlepas dari gencarnya promosi wisata Jakarta ke dunia internasional. Wajah Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi Indonesia secara perlahan sedang bertransformasi sebagai salah satu destinasi favorit bagi para wisatawan.

Ada sejumlah tempat wisata Kota Tua di Jakarta yang patut Anda kunjungi. Selain menelusuri tempat-tempat historis, wisata Kota Tua menyuguhkan Anda akan sajian kuliner yang dapat Anda nikmati, seperti Cafe Batavia, atau Anda dapat mampir ke Cafe Gazebo untuk menikmati sajian makanan tradisional, dan resto lainnya. Bahkan sejumlah pengamendengan alat musik gitar klasik yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa menjadi penghibur bagi para pengunjung, khususnya pasangan muda mudi.

Tonton reportasenya :

[NEXT]

Tak kalah kurang, jajanan yang kerap dijumpai seperti gado-gado, soto, hingga kerak telor pun tersedia banyak di sana. Disana kita bisa temukan Museum Fatahillah. Museum ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari riwayat Jakarta itu sendiri, itulah sebab dinamakan sebagai Museum Sejarah Jakarta, atau juga Museum Batavia. Di masa lampau, tepatnya era penjajahan VOC, bangunan museum ini memiliki fungsi sebagai balai kota, ruang pengadilan, dan penjara bawah tanah.

Di bagian luar bangunan museum terdapat lapangan, disebut sebagai lapangan Fatahillah. Lapangan ini dulu adalah tempat mengeksekusi para tahanan. Tahukah Anda, museum terbesar di Jakarta ini memiliki 3 lantai dan menyimpan sekitar 25.000 koleksi benda bersejarah, di antaranya prasasti, meriam, patung Dewa-Dewi, koleksi mebel antik, gerabah, dan keramik. Penelusuran jejak sejarah kota Jakarta dari masa pra-sejarah hingga berdirinya kota Jayakarta pada tahun 1527 dapat Anda ketahui di museum ini.

Untuk dapat masuk, Anda harus membeli tiket masuk Museum Fatahillah sebesar Rp 2 ribu per orang. Museum ini terbuka untuk publik setiap hari Selasa hingga Minggu, mulai dari pukul 09.00 pagi hingga 15.00 sore. Di Kota Tua ini juga kita bisa melihat cikal bakal Bank Indonesia, dimana museum ini dahulu kala adalah rumah sakit Binnen Hospital.

Dalam perjalanannya, bangunan ruma sakit dialihfungsikan sebagai sebuah bank yang bernama De Javasche Bank pada tahun 1828. Dalam sejarah perbankan Indonesia, museum ini adalah awal kehadiran Bank Indonesia.

[NEXT]

Melangkahkan kaki keluar, wartawan Lintasterkini.com menyempatkan untuk melihat berbagai kegiatan kreatifitas seniman Jakarta dengan merias diri mereka layaknya orang zaman Belanda serta berbagai model hantu ditampilkan disepanjang jalan menuju Stasiun Kereta Api pertama di Jakarta.

Dimana sistem pembayaran tiket hanya menggunakan kartu yang ditempelkan secara elektrik hingga tidak terlihat antrian penumpang kereta. Tentunya ini bisa dijadikan acuan bagi Kota Makassar kedepan bagi Pemerintah Daerah untuk memajukan sistem perkeretaapian yang sementara dibangun.

Awalnya Stasiun Kereta Api ini didirikan oleh Beos kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur), sebuah perusahaan swasta yang menghubungkan Batavia dengan Kedunggedeh. Versi lain, Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken yang artinya Batavia dan sekitarnya yang berasal dari fungsi stasiun sebagai pusat transportasi kereta api yang menghubungkan Kota Batavia dengan kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs Van Java (Bandung), Karavam (Karawang) dan lain-lain.

Sebenarnya, masih ada nama lain untuk Stasiun Jakarta Kota ini yakni Batavia Zuid yang berarti Stasiun Batavia Selatan. Nama ini muncul karena pada akhir abad ke -19, Batavia sudah memiliki lebih dari dua stasiun kereta api. Satunya adalah Stasiun Batavia Noord (Batavia Utara) yang terletak di sebelah selatan Museum Sejarah Jakarta sekarang.

Batavia Noord pada awalnya merupakan milik perusahaan kereta api Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij dan merupakan terminus untuk jalur Batavia-Buitenzorg. Pada tahun 1913 jalur Batavia-Buitenzorg ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda dan dikelola oleh Staataspoorwegen. Pada waktu itu kawasan Jatinegara dan Tanjung Priok belum termasuk gemeente Batavia.

[NEXT]

Batavia Zuid awalnya dibangun sekitar tahun 1870 kemudian ditutup pada tahun 1926 untuk direnovasi menjadi bangunan yang kini ada. Selama stasiun ini dibangun, kereta api-kereta api menggunakan stasiun Batavia Noord. Sekitar 200 m dari stasiun yang ditutup ini dibangunlah Stasiun Jakarta Kota yang sekarang.

Pembangunannya selesai pada 19 Agustus 1929 dan secara resmi digunakan pada 8 Oktober 1929. Acara peresmiannya dilakukan secara besar-besaran dengan penanaman kepala kerbau oleh Gubernur Jendral jhr A.C.D de Graeff yang berkuasa pada Hindia Belanda pada 1926-1931.

Di balik kemegahan stasiun ini, tersebutlah nama seorang arsitek Belanda kelahiran Tulungagung 8 September 1882 yaitu Frans Johan Louwrens Ghijels bersama teman-temannya seperti Hein Von Essen dan F. Stolts lelaki yang menamatkan pendidikan arsitekturnya di Delft itu mendirikan biro arsitektur Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA). Karya biro ini bisa dilihat dari gedung Departemen Perhubungan Laut di Medan Merdeka Timur, Rumah Sakit PELNI di Petamburan yang keduanya di Jakarta dan Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta.

Stasiun Beos merupakan karya besar Ghijsels yang dikenal dengan ungkapan Het Indische Bouwen yakni perpaduan antara struktur dan teknik modern barat dipadu dengan bentuk-bentuk tradisional setempat. Dengan balutan art deco yang kental, rancangan Ghijsels ini terkesan sederhana meski bercita rasa tinggi. Sesuai dengan filosofi Yunani Kuno, kesederhanaan adalah jalan terpendek menuju kecantikan. (*)

Exit mobile version