MEDAN – Tindakan Kepala Sekolah SMKN 1 Moroo Nias, Saor Manurung mengeluarkan NG (15) murid Kelas VII korban kekerasan seksual dari sekolahnya merupakan tindakan berlebihan dan melanggar hak anak atas pendidikan.
NG sebagai korban sesungguhnya harus mendapat perlindungan dari Kepala Sekolah sekaligus sebagai guru dengan memisahkan perilaku anak yang melanggar etika dan atau norma sosial dan agama dari hak anak atas pendidikan yang dijamin oleh undang-undang. Itu disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Kepada media.
Arist menambahkan, harus disadari jika ada peserta didik yang melanggar etika moral dan sosial, seperti yang diduga dilakukan NG dapat diartikan dan direfleksikan merupakan kegagalan pengelolah sekolah guru. Terlebih orangtua dalam mendidik anak dan mengasuh anak.
Sebab anak selalu dalam posisi mengimitasi apa yang dilakukan lingkungan terdekatnya atau idolanya apa yang anak lihat dan apa yang anak rasakan. Artinya irang tetdekat dan idola anak mempunyai kontribusi sehingga anak mempunyai prilaku menyimpang.
Oleh sebab itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai lembaga independen dan pelaksana tugas dan fungsi keorganisasian dari Perkumpulan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Pusat yang memberikan pembelaan dan perlindungan anak di Indonesia, atas nama hak anak atas pendidikan yang diatur didalam ketentuan UU RI No. 23 tahun 2002 yang telah diubah kedalam UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak junto UU RI Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya mengimbau dan memdesak segera Kepala Sekolah SMKN 1 Moroo untuk membatalkan keputusannya mengeluarkan NG dari SMKN 1 Moroo dan menerimanya sebagai siswi yang normal.
Mengenai tingkah laku dan prilaku NG yang diduga melanggar etika moral, sosial dan agama, NG harus ditempatkan sebagai korban yang harus dilindungi. Sebab apa yang terjadi pada diri NG juga tidak terlepas dari kontribusi orangtua dan orang-orang terdekat dari anak.
Untuk itu, Guru, Komite Sekolah dan orangtua perlu duduk bersama untuk mencari resolusi yang baik dengan pendekatan “win-win solution aprroach” tanpa merugikan pihak sekolah dan korban. Dan yang terpenting proses mediasinya harus mengedepan kepentingan terbaik anak khususnya untuk kepentingan keberlangsungan hak anak atas pendidikan dan mengajarkan kesadaran kepada anak bahwa apa yang dilakukan anak adalah perbuatan salah dan melanggar etika dan norma ditengah-tengah masyarakat. demikian ditambahkan Arist.