JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) tiga hari bekalangan ini telah membacakan putusan sela perkara Pilkada serentak 2020. Hampir semua perkara ditolak.
Hal itu mengundang reaksi Pakar Hukum Tata Negara (HTN), Margarito Kamis. Dia mengkritisi MK, yang hanya berdasarkan pasal 158 Undang-undang nomor 10 tahun 2016 sebagai syarat formal pengajuan gugatan sengketa Pilkada.
Sehingga banyak sengketa Pilkada 2020 ditolak karena dianggap tidak memenuhi pasal 158 tersebut.
Margarito menandang, pasal itu membatasi gugatan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Hanya bisa diajukan jika selisih suara penggugat dengan pemenang pilkada maksimum dua persen.
Jika MK masih merujuk pada pasal itu, maka sama saja lembaga tinggi tersebut sedang membiarkan kecurangan terjadi, selama tidak melebihi batas yang telah ditentukan.
“Itu dia, karena mereka (MK) hanya pakai Pasal 158 saja, akhirnya begitu. Seperti kemarin itu (permohonan sengketa Pilkada) berguguran semua, hari ini pun akan keguguran lagi. Akhirnya kecurangan-kecurangan tidak terdeteksi,” pungkasnya dalam keterangannya, Rabu (17/02/2021).
Dia lalu menjelaskan keadilan lebih fundamental dibandingkan pasal 158 tersebut.
“Saya mengerti mereka berlandaskan pada 158, tetapi mereka harus mengerti juga bahwa keadilan jauh lebih fundamental dari pasal 158 itu. Keadilanlah yang seharusnya memandu mereka, menuntun mereka yang menginspirasi mereka mengambil dan menetapkan hukum, bukan sekedar teks,” tukas Margarito. (*)