JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (PK) resmi menetapkan Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto (Setnov) masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Dengan kata lain, ia berstatus buronan alias orang yang sedang dicari atas pengusutan suatu perkara pidana.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, keputusan tersebut diambil oleh pimpinan KPK sebab yang bersangkutan tak kunjung menyerahkan diri hingga Kamis (16/11/2017) malam setelah kembali ditetapkan sebagai tersangka. Surat pencantuman nama Setya Novanto dalam DPO pun telah diserahkan ke Mabes Polri dan Interpol.
“Setelah dibicarakan di internal KPK dan sampai dengan sekitar malam kemudian kami tidak mendapatkan penyeraham diri dari tersangka SN akhirnya diputuskan pimpinan KPK mengirimkan surat kepada Mabes Polri dan Interpol dan mencantumkan nama yang bersangkutan di daftar pencarian orang,” ujar Febri saat memberikan keterangan di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (16/11/2017).
Febri menegaskan bahwa penetapan DPO merupakan salah satu kewenangan KPK yang tercantum dalam pasal 12 ayat 1 huruf H dan I UU KPK. Selain itu, KPK juga bisa meminta bantuan kepolisian untuk melakukan proses pencarian dan tindakan-tindakan hukum yang lain.
“Jadi KPK berdasarkan kewenangan di pasal 12 ayat 1 huruf H dan I bisa meminta bantuan kepolisian untuk melakukan proses pencarian dan dapat dilakukan tindakan-tindakan hukum yang lain,” kata Febri.
[NEXT]
MKD Akan Bahas Nasib Setnov
Mahkamah Kehormatan Dewan akan menggelar rapat pada Kamis (16/11/2017) ini. Rapat akan menyikapi langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan upaya jemput paksa terhadap Ketua DPR Setya Novanto.Namun, upaya jemput paksa itu gagal karena Novanto tak ada di rumah dan belum diketahui keberadaannya.
“Kami akan agendakan rapim dan pleno Mahkamah Kehormatan Dewan ( MKD). Di samping bahas laporan yang masuk, kami juga akan membahas perkembangan kasus Pak Novanto ini di KPK,” kata Wakil Ketua MKD Sarifuddin Sudding.
Sudding mengatakan, dengan keluarnya surat perintah penangkapan dari KPK terhadap Novanto, otomatis yang bersangkutan tidak bisa lagi menjalankan tugas kesehariannya sebagai Ketua DPR.
“Bisa dianggap ia berhalangan. Dalam konteks itu, saya kira MKD akan menyikapi perkembangan kasus Setya Novanto ini,” ucapnya.
Sudding enggan berandai-andai apakah MKD akan menonaktifkan Novanto dari posisi Ketua DPR. Menurut dia, semua tergantung hasil rapat dan perkembangan selanjutnya.
Sudding hanya mengatakan, apabila Novanto lengser dari Ketua DPR, Fraksi Partai Golkar harus segera menyiapkan pengganti. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
“UU MD3 mengatakan, pergantian pimpinan di alat kelengkapan Dewan ataupun di DPR tergantung fraksinya,” ucapnya.
Penyidik sudah mengantongi surat penangkapan Novanto yang sebelumnya beberapa kali mangkir dari panggilan KPK. Namun, Ketua Umum Partai Golkar tersebut tak ada di rumah.KPK kemudian mengimbau Novanto segera menyerahkan diri.
KPK menetapkan kembali Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP pada Jumat (10/11/2017). Novanto sebelumnya lolos dari status tersangka dalam penetapan sebelumnya setelah memenangi gugatan praperadilan terhadap KPK. Dalam kasus ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Adapun sejumlah pihak itu antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, serta dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut, negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek Rp 5,9 triliun tersebut. (Sumber : Kompas.com)