MAKASSAR – Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sulawesi Selatan diminta menyelidiki kandungan bahan kimia yang digunakan oleh brand-brand kosmetik di Sulsel. BNNP juga diminta berkoordinasi dengan BPOM untuk membongkar produk kosmetik ilegal.
“Ini bagian dari wewenang BNN. Karena itu kita minta BNN menyelidiki kandungan bahan kimia yang mereka gunakan. Sebab produk kosmetik itu dominan dikemas dan diracik sendiri,” terang Direktur Laksus Muhammad Ansar, Rabu (15/11/2023).
Menurut Ansar, beberapa produk kosmetik diduga belum ternotifikasi di BPOM. Produk itu dikemas sendiri oleh pemiliknya (owner) tanpa melalui uji kelayakan. Mereka juga tak mengantongi izin edar.
Kata Ansar, produk kosmetik ini tidak akan lolos uji kelayakan. Karena diduga memiliki kandungan bahan kimia yang melebihi ambang batas.
“Hasil penelitian menunjukkan, hampir semua produk kosmetik ini menggunakan zat berbahaya sebagai bahan baku utama. Para peneliti menyebut, bahan-bahan yang digunakan mengandung kadar merkuri di atas 70%,” ucap Ansar.
Karena itu, BNN harus turun tangan menyelidikinya. Ansar menegaskan, ini tak bisa lagi dibiarkan karena sudah menyangkut keselamatan orang banyak.
Yang Bisa Menjerat Mereka
Lantas mengapa produsen kosmetik ilegal masih bebas menjalankan bisnisnya? Sebenarnya seperti apa aturan yang bisa menjerat mereka?
Sesuai aturan Kemenian Kesehatan (Kemenkes) tentang izin produksi kosmetik menjelaskan secara rinci pembuatan kosmetik. Di mana izin produksi harus dimiliki oleh perusahan kosmetik, tidak semerta-merta langsung memasarkan produk tanpa izin.
Kemudian, produsen kosmetik juga harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sesuai dua kategori yang ditetapkan yakni Golongan A dan B.
Syarat izin Golongan A antara lain produsen harus memiliki apoteker, kemudian memiliki fasilitas produksi sesuai produk yang dibuat, memiliki laboratorium, dan melaksanakan cara pembuatan kosmetik yang baik atau CPKB.
Kemudian, untuk Golongan B produsen dianjurkan memiliki tenaga tehnis kefarmasian, memiliki fasilitas produksi dengan teknologi sederhana dan mampu menerapkan higiene sanitasi dan dokumentasi sesuai cara pembuatan kosmetik yang baik.
Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Sulsel, Ketua Dr. dr. Muji Iswanty menegaskan, produsen kosmetik yang tidak memiliki izin edar tidak bisa melakukan perdagangan. Sebab, langkah tersebut telah melanggar aturan dari Kemenkes dan UU Kesehatan.
“Produsen memiliki produk tanpa izin edar tentu melanggar aturan kemenkes serta UU Kesehatan. Dan itu harus ditindaki secara tegas,” ujar dr Muji.
Lebih lanjut, dr Muji mengatakan, segala apapun yang berhubungan dengan kosmetik harus memiliki legalitas dari BPOM dan menerapkan aturan yang ada. Apalagi, yang berkait dengan obat-obatan dan makanan menjadi pengawasan BPOM dan sebelum diedarkan harus memiliki notifikasi BPOM dan izin edar.
“Apabila tidak notifikasi BPOM, mereka (produsen) jelas tepah melanggar aturan yang ada baik aturan Kemenkes, UU Konsumen, dan UU Kesehatan,” bebernya.
Berdasarkan Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan) menjelaskan, kosmetik termasuk dalam jenis sediaan farmasi. Dimana, Pasal 98 ayat (1), sediaan farmasi (termasuk kosmetik) harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
Sehingga, untuk memproduksi kosmetik harus memenuhi standar dan persyaratan yang ditentukan oleh Pemerintah (Pasal 105 ayat (2). Sementara menurut Pasal 106 ayat (1), kosmetik harus mendapat izin edar sebelum diperjual-belikan.
Hal itu bertujuan untuk melindungi konsumen (masyarakat) dari produk kosmetik berbahaya. Sehingga memproduksi dan menjual produk kosmetik yang tidak mendapat sertifikat mutu dan izin edar dari BPOM merupakan pelanggaran hukum.
Sanksi bagi yang melanggar ketentuan tersebut cukup berat. Produsen atau penjual kosmetik yang tidak memenuhi standar keamanan, khasiat dan mutu dapat dipenjara 10 tahun dan didenda 1 miliar rupiah (Pasal 196 UU Kesehatan).
Sementara produsen atau penjual kosmetik yang tidak memiliki izin edar bisa dipenjara 15 tahun dan didenda 1,5 Miliar (Pasal 197 UU Kesehatan). (*)