PANGKEP – Pihak kampus memiliki cara tersendiri menyambut mahasiswa baru (maba). Biasanya penyambutan yang dilakukan untuk mengenalkan kondisi kampus, etika selama menempuh pendidikan di dalam kampus, organisasi kampus, serta menyampaikan berbagai aturan internal yang perlu ditaati oleh para maba.
Bagi pihak Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar menyambut maba dengan cara mengikutkan dalam kegiatan pekan pesantren. Wakil Dekan IV Bidang Pengembangan Dakwah dan Pengembangan kampus Islami, Fakultas Kesehatan Masyarakat Muslim Indonesia (FKM UMI), Dr. Nukman MA, Jumat, (18/8/2017), berpesan kepada maba bisa menerapkan kebiasaan di pesantren dalam berperilaku di masyarakat.
“Kebiasaan seperti mengaji, dzikir, shalat lima waktu, shalat lail, dan sebagainya harus diterapkan setiap mahasiswa UMI. Hal ini bukan hanya di pesantren, tapi juga di masyarakat,” pesan Dr. Nukman MA.
Salah satu ciri khas mahasiswa UMI, jelas Dr Nukman, selalu menjaga hubungan ibadahnya dengan Sang Pencipta dan sesama manusia. Ia berharap, melalui pekan pesantren ini, mahasiswa baru UMI dilatih dan dibiasakan melakukan ibadah, baik wajib maupun sunnah.
“Pembentukan karakter yang Islami dapat terealisasi dalam kehidupan sehar-hari dimulai dari tempaan pekan pesantren bagi mahasiswa baru di Kampus UMI,” paparnya.
[NEXT]
Ungkapan Maba Peserta Pekan Pesantren : Susah Bangun Subuh Hingga Harus Mandiri
Andi Vira Aulia, salah satu mahasiswi Prodi Kesehatan Masyarakat FKM UMI mengaku Pekan Pesantren sebagai penyambutan dirinya sebagai mahasiswa baru (maba). Kegiatan pekan pesantren ini di laksanakan di Pesantren Darul Mukhlisin, Kabupaten Pangkep, selama sepekan.
Aulia sapaan akrabnya mengikuti kegiatan tersebut bersama ratusan mahasiswa FKM UMI dari tiga jurusan yakni Kesehatan Masyarakat, Kebidanan dan Keperawatan selama tiga hari.
“Awalnya saya berfikir sebelum kesini, pasti di pesantren susah jalani, terutama bangunnya jam 3 dini hari, jadwal belajar yang padat dan hidup mandiri,” ungkap Aulia.
Sesampainya di pesantren, Aulia mengaku susah beradaptasi dengan lingkungan pedalaman Pangkep. Pasalnya, cuacanya lebih dingin. Bukan hanya itu, lanjut Aulia, saat dibangunkan jam 3 subuh untuk melaksanakan shakat lail, ia merasa kesusahan untuk beranjak dari tempat tidurnya.
“Biasanya saya bangun jam 5 subuh, tapi disini jam 3 sudah dikasih bangun, jujur saya susah bangun subuh, tapi itu harus saya lakukan,” kata gadis berdarah Bugis-Bone itu sambil tersenyum.
Namun dibalik susahnya bangun subuh itu, anak sulung dari pasangan dr. A. Muhammad Syahrir, M.Kes dan Selvi Indrayati itu mengakui ada keseruan yang didapatkan selama berada di pesantren tersebut.
“Disini sangat seru, segala hal dilakukan bersama, seperti makan bersama, tidur ramai-ramai, berudhu ramai-ramai, sampai bangun subuhnya beramai-ramai,” canda Alumni SMA Negeri 4 Watampone itu.
Selain keseruan yang didapatkan, ia juga mengakui mendapatkan pengalaman baru selama di pesantren. Diungkapkan Aulia, dirinya bisa berbaur dengan semua orang, bisa lebih mandiri, dan yang paling berharga karena dirinya bisa mendapat teman dari berbagai daerah. (*)