Warga Latimojong Menangis Histeris Saat Pohon Cengkeh Ditebang oleh PT Masmindo Dwi Area

Warga Latimojong Menangis Histeris Saat Pohon Cengkeh Ditebang oleh PT Masmindo Dwi Area

LUWU – Insiden penebangan pohon cengkeh oleh PT Masmindo Dwi Area (MDA) telah menyebabkan kepanikan dan kesedihan mendalam bagi warga setempat pada Senin, 16 September 2024. Dalam video yang beredar luas, terlihat para karyawan PT Masmindo, yang dikawal oleh Brimob dan TNI berseragam lengkap, menggunakan mesin chainsaw untuk menebang pohon cengkeh milik warga. Warga yang berusaha mempertahankan kebun mereka hanya bisa menangis histeris dan memohon agar pohon-pohon tersebut tidak ditebang.

Seorang perempuan terlihat berteriak sambil menangis, “Sudah pak, sudah, jangan ditebang lagi.” Namun, meski adanya protes dan permohonan dari warga, pihak perusahaan tidak menghentikan aksi penebangan.

Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa sebanyak 48 pohon cengkeh telah ditebang. Pohon-pohon ini merupakan sumber utama penghidupan bagi warga yang saat ini tengah memasuki musim panen. Cones, salah seorang pemilik lahan, mengungkapkan bahwa mereka sempat didatangi oleh dua utusan PT MDA. Utusan tersebut diduga melakukan intimidasi dan memaksa warga untuk menerima tawaran harga yang dianggap tidak memadai, yakni Rp 70.000 per meter untuk tanah dan tanaman, serta Rp 180 juta untuk rumah. Tawaran tersebut ditolak oleh warga, yang merasa tertekan dan khawatir akan kehilangan tempat tinggal.

“Empat hari setelah pertemuan dengan utusan PT MDA, penebangan pohon mulai dilakukan, meskipun kami belum menyetujui harga yang ditawarkan,” kata Cones. “Kami terpaksa pindah sementara ke rumah kerabat di Bajo, karena selain kebun, rumah kami juga terancam akan dirubuhkan. Kami tidak tahu ke mana harus berlindung.”

Menanggapi kejadian ini, Yudhi Purwandi, External Relations Manager PT MDA, menjelaskan bahwa perusahaan telah melakukan beberapa kali upaya mediasi dengan pemilik lahan. Namun, tidak tercapai kesepakatan karena perbedaan signifikan mengenai nilai ganti rugi. “Kami akhirnya mengambil langkah strategis dengan menitipkan dana di bank khusus untuk pembayaran ganti rugi lahan dan tanaman, sesuai dengan penilaian dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP),” jelas Yudhi dalam siaran persnya.

Kejadian ini menggambarkan ketegangan antara kepentingan perusahaan dan hak-hak warga yang berusaha mempertahankan mata pencaharian mereka. (*)