Frederik Kalalembang di RDP Komisi III: Yang Perlu Direformasi di Polri Adalah Komunikasi

JAKARTA — Upaya memperkuat reformasi hukum nasional kembali menjadi sorotan utama di Komisi III DPR RI. Di tengah dinamika penegakan hukum dan meningkatnya ekspektasi publik terhadap profesionalisme aparat, kebutuhan untuk membangun tata kelola hukum yang transparan, akuntabel, dan responsif semakin mendesak. Reformasi Polri yang selama ini identik dengan penguatan struktur dan pengawasan, dinilai harus melampaui kerangka teknis dan mulai menyentuh inti persoalan, kualitas komunikasi, koordinasi, dan kepekaan institusi terhadap masyarakat.

Dalam semangat itulah Komisi III DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Wakapolri Komjen Pol Prof. Dr. Dedi Prasetyo, Plt Wakil Jaksa Agung Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, serta Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, Suradi, S.H., S.Sos., di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025). Wakapolri juga mengikutsertakan sejumlah Pejabat Utama Mabes Polri, yakni Astamaops Kapolri Komjen Pol Dr. Mohammad Fadil Imran, M.Si, As SDM Polri Irjen. Pol. Anwar, S.I.K., M.Si, Koordinator Staf Ahli Kapolri Irjen Pol Herry Rudolf Nahak dan Karo Paminal Divpropam Polri Brigjen Pol Yudho Hermanto.

Rapat ini menjadi ajang evaluasi bersama mengenai arah reformasi hukum dan sinergi antarlembaga dalam mewujudkan sistem penegakan hukum yang lebih baik.

Dalam forum tersebut, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Irjen Pol (Purn) Drs. Frederik Kalalembang, menyampaikan pandangan soal reformasi hukum khususnya di tubuh Polri. Frederik Kalalembang menilai bahwa reformasi Polri tidak cukup hanya menyentuh instrumen, struktur, atau teknologi, tetapi harus dimulai dari hal yang paling mendasar, yakni komunikasi.

Duduk di depan dari kiri : Wakapolri Komjen Pol Prof. Dr. Dedi Prasetyo, stamaops Kapolri Komjen Pol Dr. Mohammad Fadil Imran, M.Si, s SDM Polri Irjen. Pol. Anwar, S.I.K., M.Si, dan Koordinator Staf Ahli Kapolri Irjen Pol Herry Rudolf Nahak

“Sebetulnya yang perlu direformasi adalah komunikasi. Kalau bapak-bapak di depan ini duduk bersama dan saling bergandengan tangan, saya kira situasi negara kita aman-aman saja. Tetapi sekarang kelihatannya tidak ada komunikasi yang baik,” ujar Frederik. Ia menegaskan bahwa disharmoni komunikasi antara pimpinan, antar-instansi, maupun dengan publik justru membuka ruang kesimpangsiuran dan memicu ketidakpastian dalam penegakan hukum.

Frederik juga menyoroti berbagai persoalan di lapangan yang dialami masyarakat ketika berhadapan dengan sistem pelaporan. Mulai dari warga yang datang ke SPKT namun tidak diarahkan, hingga laporan yang berpindah antarlevel kepolisian tanpa kejelasan. “Kadang datang ke SPKT dibiarkan. Ini laporannya ke Polda atau ke Polres, tapi tidak diberikan petunjuk. Terima kasih kepasa Wakapolri sudah membentuk Pamapta, semoga bisa bekerja dengan baik,” ungkapnya.

Frederik menjelaskan dengan terbentuknya Pamapta di masing-masing Polres akan membuka ruang pama untuk mengendalikan laporan awal yang dulunya SPKT, sudah berubah jadi Pamapta. Sehingga tidak ada lagi laporan pengaduan, tetapi disatukan menajadi laporan polisi.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Irjen Pol (P) Drs Frederik kalalembang memberikan berkas berupa aduan warga dari Dapil 3 Sulsel, kepada Plt Wakil Jaksa Agung Prof. Dr. Asep Nana Mulyana usai RDP di ruang rapat Komisi III DPR RI di Senayan

“Jadi sekarang sudah ada Pamapta yang sebelumnya adalah SPKT. Di Pamapta disortir jika ada masyarakat datang melapor,” uangkapnya lagi.

Ia meminta Polri agar menyatukan istilah laporan polisi dan laporan pengaduan yang selama ini berbeda antar polda. Menurutnya, penyamaan ini bukan hanya soal administrasi, tetapi soal pelayanan publik. “Kalau itu semuanya laporan polisi, ya satukan saja. Di Pamapta setelah adanya laporan akan ada proses verifikasi, ada piket reskrim yang menyortir atau melakukan wawancara terhadap pelapor, untuk memastikan apakah ini ranahnya pidana atau perdata. Jangan sampai masyarakat bingung karena istilah yang berbeda-beda,” tegasnya.

Wasidik Bareskrim Polri Harus Turun ke Polda

Frederik juga mengkritisi proses penyidikan yang sering kali memakan waktu berbulan-bulan di tingkat Polres atau Polda, namun dapat dihentikan (SP3) hanya dalam beberapa hari saat masuk Wasidik di Bareskrim Polri. Menurut Frederik, kondisi ini merusak moral penyidik dan dapat menurunkan kepercayaan publik.

“Bayangkan, teman-teman di polres dan polda berbulan-bulan bekerja, tiba-tiba SP3 di Wasidik Bareskrim Polri dalam dua atau tiga hari. Bagaimana juga perasaan masyarakat sebagai pelapor? Ini citra Polri ke depan. Ini yang harus dibenahi,” ujarnya.

Frederik menambahkan bahwa seharusnya, Wasidik Bareskrim Polri tidak diam di tempat dan hanya memanggil Polres atau Polda, tetapi turun ke Polda masing-masing untuk mengecek dan melakukan gelar bersama di Polda. Sebab, kata Frederik, yang paling paham adalah Polres atau Polda setempat terkait kasus yang mereka tangani, sehingga Wasidik Barekrim Polri yang memang juga harus turun langsung ke lapangan.

RDP tersebut dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR RI Habiburrahman dan dihadiri oleh jajaran pejabat teras Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung. Suasana rapat berlangsung hangat, menandai komitmen bersama untuk mendorong reformasi hukum yang substansial, bukan sekadar kosmetik kelembagaan.

Menutup penyampaiannya, Frederik kembali menegaskan bahwa komunikasi yang baik adalah fondasi utama dalam membangun Polri yang profesional dan dipercaya publik. “Kalau komunikasi kita baik, saya kira semuanya akan lebih jelas, lebih cepat, dan lebih dipercaya. Ini yang harus kita benahi bersama,” ucap legislator dari Dapil 3 Sulsel ini. (*)