JAKARTA – KPK akhirnya menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP.
“KPK menetapkan saudara SN anggota DPR periode 2009-2014 sebagai tersangka,” ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK Jakarta, Senin (17/7/2017).
KPK menduga Novanto telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan kewenangan dan jabatan yang dia miliki. Akibatnya dari kasus ini negara dirugikan sekitar Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.
Novanto diduga melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Setya Novanto merupakan tersangka keempat dalam kasus korupsi e-KTP.
Sebelumnya KPK telah menetapkan Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam kasus ini. Dalam kasus-kasus lain nama Setya Novanto juga mencuat. Setya Novanto beberapa kali disebut terlibat dalam berbagai skandal kasus korupsi di negeri ini namun selalu berhasil lolos.
Kasus pertama yang memunculkan nama Setnov tak lain mega skandal Bank Bali senilai Rp904 miliar di tahun 1999. Kasus ini bermula ketika Rudy Ramli, pemilik Bank Bali kesulitan menagih piutang senilai Rp3 triliun kepada Bank Dagang Negara Indonesia, Bank Umum Nasional dan Bank Tiara.
Dalam kasus ini Setya Novanto lolos dari jerat hukum setelah Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tanpa alasan yang jelas pada 18 Juni 2003.
Pada 2005, nama Setnov muncul terkait penyelundupan 60 ribu ton beras Vietnam yang perkaranya ditangani Kejaksaan Agung. Saat itu, perusahaan milik Setnov PT Hexatama Finindo memindahkan 60 ribu ton beras Vietnam dari Bea Cukai tanpa membayar pajak dengan nilai yang sebenarnya. Perusahaan hanya membayar 900 ton beras.
Setnov diperiksa Kejagung pada tahun 2006. Kasus ini menguap begitu saja. Tak hanya pangan, Setnov ternyata juga pernah tersangkut kasus impor limbah beracun dari Singapura ke Batam, pada tahun 2004. Kasus mencuat ke permukaan pada tahun 2006, ketika lebih dari 1.000 ton limbah berun asal Singapura mendarat di Pulau Galang. (*)