Lintas Terkini

Kasus e-KTP dan Partai Golkar Menyandera Setnov

Notrida Mandica, Anggota Dewan Pakar Partai Golkar, dan menjabat Ketua Ikapol Fisip Unhas.

LINTASTERKINI.COM – Menarik ungkapan Sekertaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Idrus Marham bahwa penahanan Ketua Umum, Setya Novanto(Setnov) kelak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas sangkaan korupsi proyek e-KTP tidak akan mengganggu kinerja Partai Golkar.

Bahkan, Sekjen ini meyakinkan publik bahwa saat status Ketum sebagai tersangka pun, Partai Golkar justru semakin terkonsolidasi dari daerah hingga pusat. Jika ditilik lebih jauh, pernyataan itu ada benarnya bahwa Partai Golkar memiliki mekanisme struktur kepemimpinan komprehensif yang mampu menghadapi segala kemungkinan tantangan dan hambatan.

Hal ini telah teruji pada awal era reformasi dan saat konflik internal antara Munas Bali versus Munas Ancol beberapa tahun lalu.  Karena sumber daya politisi Partai Golkar tidak diragukan lagi, berpengalaman menghadapi dan memberi solusi terhadap ragam masalah dan berpengetahuan tentang atmosfir politik lokal dan nasional.

Namun ada hal krusial yang diabaikan oleh pernyataan Idrus Marham tersebut, yakni pertama, Setnov akan ditahan oleh KPK dan kedua, posisi Ketum Partai Golkar tidak terlalu signifikan dalam menjalankan roda kepemimpinan partai.

Disadari atau tidak, pernyataan tersebut menyandera Setnov sebagai Ketum DPP Partai Golkar dalam ketidakpastian politik dan hukum. Sebagaimana diketahui, status tersangka membuat Ketum Setnov tidak leluasa melakukan aktivitas bersifat publik, karena penolakan publik telah diperlihatkan secara terbuka di beberapa acara.

Termasuk acara Diaspora 2017 baru lalu. Belum lagi menyangkut perdebatan di media sosial tentang kehadiran Setnov sebagai Ketua DPR RI di acara 17 Agustus di Istana Merdeka. Perlu diketah bahwa sangat berbahaya secara politik jika mempertahankan Setnov sebagai Ketum, namun aktivitas partai tidak lagi dilakoni oleh Ketum.

[NEXT]

Secara sadar, DPP Partai Golkar telah dilakukan pembiaran kevakuman kekuasaan tertinggi di DPP Partai Golkar, yang diibaratkan ‘sebuah negara tanpa presiden’. Ada beberapa opsi yang dapat dilakukan oleh Setnov sebagai Ketum menyikapi kondisi ini :

Opsi Pertama, Setnov SN dapat melakukan langkah yang elegan sebagai pemimpin partai besar untuk mengawal pergantian posisi Ketum DPP Partai Golkar melalui Musyawarah Nasional (2017-2022) atau Musyawarah Nasional Luar Biasa (2017-2019).

Opsi Kedua, Setnov SN dapat melakukan Rapat Pimpinan Nasional Terbatas yang membentuk presidium yang terdiri dari Dewan Pembina, Dewan Kehormatan, dan Dewan Pakar yang akan mengawal Musyawarah Nasional (2017-2022) atau Musyawarah Nasional Luar Biasa (2017-2019).

Opsi Ketiga, Jika Ketua Harian DPP Partai Golkar, A.M. Nurdin Halid dan Sekjen Idrus Marham telah dipercayakan menjalankan roda partai, maka kesempatan kepada Ketua Harian dan Sekjen untuk mengatur Musyawarah Nasional Luar Biasa atau Musyawarah Nasional DPP Partai Golkar. Dengan demikian Setya Novanto dapat dengan ikhlas dan tenang mundur dari jabatan Ketum DPP Partai Golkar dan Ketua DPR RI.

Salah satu dari opsi ini perlu diambil sebagai respon yang bijak Setnov sebagai Ketum DPP Partai Golkar terhadap suara-suara anggota partai dan pendukung partai yang menghendaki pembaharuan di DPP Partai Golkar. Suara tersebut tidak selayaknya dianggap sebagai suara berkepentingan tertentu, tetapi itu adalah suara untuk perbaikan Partai Golkar.

[NEXT]

Apalagi Pilkada dan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang semakin dekat, gelombang kekhawatiran di kalangan Partai Golkar seharusnya ditindaklanjuti dengan serius. Ada Gerakan Golkar bersih yang digelontorkan oleh generasi muda Partai Golkar. Ada pula keprihatinan yang dilontarkan oleh politisi dan anggota Dewan Pakar Partai Golkar, Titiek Soeharto yang menyarankan Setnov mundur untuk kepentingan Partai Golkar.

Semua tuntutan dan saran itu seharusnya ditanggapi sebagai input untuk memperbaiki Partai Golkar. Jangan dianggap sekedar sebagai gerakan pribadi dari segolongan orang yang tidak puas terhadap Setnov dan para pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.

Sekali lagi, seharusnya DPP Partai Golkar tidak menyandera Ketum Setnov dalam pusaran kasus e-KTP dengan alasan menunggu penangkapannya oleh KPK untuk menyatakan partai dalam keadaan darurat. Saat ini, ketika suasana masih terkendali, seharusnya Setnov mengambil alih setir DPP Partai Golkar dan mengantarkan DPP Partai Golkar memilih Ketua Umum baru.

Dengan demikian, kebesaran nama Setnov tidak tergerus oleh isu status tersangka semata. Setnov adalah tokoh yang pasti menghendaki DPP Partai Golkar menjadi partai terdepan dalam konstalasi politik nasional. Terbukti dengan kerja keras Setnov yang mengantar Partai Golkar memenangkan lebih dari 58% pilkada tahun ini.

Dan ketokohan Setnov, tidak akan hilang begitu saja. Sebagaimana dikatakan oleh Titiek Soeharto, Setnov dapat kembali bertarung sebagai pemimpin Partai Golkar atau DPR RI ketika telah terbukti tidak bersalah. (*)

Exit mobile version