Lintas Terkini

Mengenal Sosok Daeng Manda, Sang Maestro Seni Asal Sulsel

Sang Maestro Seni asal Sulsel, Daeng Manda memperlihatkan filosofi tarian yang ia ciptakan.

MAKASSAR – Suasana sore itu tampak hening. Suasana sepi ini merupakan pemandangan yang biasa ditemui di rumah Daeng Manda, yang beralamat di Jalan Sultan Alauddin, Kota Makassar, tepat di sisi kanan Masjid Al Abrar.

Sore itu, seperti aktivitas kesehariannya Daeng Manda ditemui sedang membuat anyaman boneka dari daun lontara. Dia tengah sibuk menyelesaikan beberapa boneka yang dipesan oleh salah satu foundation di Jogyakarta. Itulah sekelumit aktivitas sosok Daeng Manda, sang Maestro Seni asal Sulawesi Selatan.

Ditemani cucunya, Daeng Manda bercerita tentang banyak hal mengenai aktivitasnya didunia tari dan membuat boneka dari daun lontara di rumahnya. Diusianya yang sudah memasuki 85 tahun, dirinya cukup cekatan merangkai anyaman-anyaman daun lontar (sebut Lontara-red) mejadi satuan bentuk boneka tarian khas Bugis-Makassar.

Pria yang lebih akrab disapa Nenek Manda oleh masyarakat setempat ini, sore itu bercerita tentang pembuatan boneke tarian Bugis-Makassar dengan daun lontara bukan tanpa sebab. Hal ini dikarenakan selain sebagai pohon yang merupakan identitas kejayaan kerajaan Gowa di masa lalu, daun pohon lontara juga sangat kuat dan bisa bertahan lama untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan boneka.

Dimana boneka-boneka dari daun lontara ini kemudian dihiasi dengan menggunakan pakaian khas Bugis-Makassar berdasarkan strata sosial dalam tatanan Kerajaan Gowa. Seperti misalnya ada boneka tarian dengan menggunakan baju berwarna hijau, artinya si penari ini adalah anak tutu, yakni adalah seorang dari keturunan bapak turunan raja dan ibu juga turunan raja.

Sedangkan untuk boneka dengan pakaian berwarna merah sebagai tanda bahwa sang penari ini dari keturunan yang tinggi derajatnya, apakah ayah yang tinggi derajatnya atau dari pihak ibu yang tinggi derajatnya. Dirinya juga mengungkapkan bahwa pembuatan Boneka tarian Bugis-Makassar ini bukan untuk dijual, tetapi untuk bahan edukasi tentang nilai-nilai kesenian yang ia ciptakan.

[NEXT]

Daeng Manda merasa khawatir jika kelak dirinya meninggal sudah tidak ada lagi warisan yang bisa ia berikan kepada generasi berikutnya. Dari keresahannya itulah, karya boneka daun lontar ini tercipta, yang nantinya akan dijadikan sebagai peninggalan kepada masyarakat untuk dapat memahami karya-karya yang telah ia ciptakan.

Salah satu pengalaman menarik yang ia ceritakan adalah saat mengunjungi Istana Negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno untuk mementaskan tari Pakkarena. Pengalaman itu tidak pernah terlupakan. Pengalaman lainnya adalah saat harus mencicipi kue cucur bayao terlebih dahulu sebelum diberikan kepada Ibu Tien Soeharto (istri Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto) di Pavilium Sulsel di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.


“Para ajudan khawatir pada kue ini siapa tahu menurut mereka ada racunnya, makanya saya diminta untuk merasakan duluan, tentu saja tidak ada racunnya, justru kue cucur bayao ini enak,” ungkap Daeng Manda mengenang pengalaman manisnya.

Berbagai karya dan prestasi sudah banyak diraih oleh Daeng Manda. Salah satunya ia pernah membuat boneka dari daun lontar yang mewakili lima suku di Sulsel untuk dihadiahkan kepada Ratu Inggris, Ratu Elizabeth. Bukan hanya sampai disitu, berbagai pementasanpun sudah dihadirinya, baik ditingkat nasional maupun di kancah internasional.

Di tahun 2010 Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Maestro Seni Tradisi Indonesia kepada Daeng Manda berdasarkan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, yang saat itu dijabat Jero Wacik. Daeng Manda juga menjelaskan bahwa tarian harus sejalan dengan sastra.

Setiap tarian mengandung nilai-nilai spiritual dan religius sebagai pedoman hidup manusia. Seperti sastra Makassar yang didengungkan sebelum memulai tari se’re jagad ni gandang yang ia tuturkan “Bentengko ri kana tojeng (berdirilah pada kata-kata yang benar), Jappako ri kalambuseng (berjalanlah di jalan yang lurus), tea’ko angalle passaso (jangan kau mengambil sogokan), ammakkala’ki to’mabutayya (buatlah dunia tersenyum padamu).

[NEXT]

Sementara itu, Hj. Nurlia Nurdin, S.Pd, anak dari Daeng Manda yang juga pengajar seni di salah satu sekolah di wilayah Kabupaten Gowa menuturkan bahwa karya Daeng Manda sangat unik. Hal ini dapat dilihat dari cara Daeng Manda berkarya, dimana semua inspirasinya diambil dari dalam dirinya sendiri sebagai seniman.

“Misalnya untuk menciptakan sebuah gerakan tarian, kadang kadang dia mengambil konsep gerakan itu dari dalam mimpinya,” ucap Hj Nurlia Nurdin.

Dirinya juga berharap kepada Daeng Manda di usianya yang sudah senja saat ini untuk tetap senantiasa sehat selau dan tetap semangat mewariskan karya budaya untuk generasi muda di Indonesia.

Hal senada juga diungkapkan oleh Muhammad Kemal Machmud, Chairman KN Institute, sebuah foundation asal Jogjakarta yang fokus pada pengembangan dunia kreatif, kebudayaan dan agribisnis. Dia mengungkapkan, pihaknya sengaja datang ke Makassar tepat di Hari Kemerdekaan Indonesia ini, untuk bisa mengenal sosok luar biasa Daeng Manda.

“Dia juga adalah sosok pahlawan pejuang kesenian, sebagaimana kita tahu beliau sudah mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengharumkan nama Indonesia, khususnya daerah Sulawesi Selatan lewat karya-karya tarinya, baik di tingkat nasional maupun di kancah internasional,” ungkap Muh Kemal Machmud.

Kemal juga menambhkan bahwa sosok Daeng Manda adalah pribadi yang sangat luar biasa. Untuk itu, generasi muda wajib mengenal siapa Sang Maestro Seni ini. Olehnya itu dalam beberapa waktu kedepan, KN Institute bersama-sama Daeng Manda sedang menggarap pembuatan film dokumenter tentang karya boneka lontaranya, serta pembuatan buku yang akan mengulas karya-karya Daeng Manda, Sang Maestro Seni dari Sulsel. (*)

Exit mobile version