Lintas Terkini

Ironi di Sektor Pertanian, Indonesia Impor Cangkul

Cangkul impor.

JAKARTA – Sektor pertanian saat ini belum mandiri sepenuhnya. Misal hal sederhana terkait alat-alat pertanian saja harus impor. Kasus impor kepala cangkul beberapa waktu lalu, menjadi sorotan publik dan jadi bukti industri nasional masih belum terintegrasi dari hulu ke hilir. Baja untuk kebutuhan produksi cangkul industri dalam negeri tak tersedia.

Catatan Kementerian Perdagangan, pemerintah  mengimpor kepala cangkul sebanyak 86.160 unit melalui PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Jumlah tersebut sebesar 5,7 persen dari keseluruhan izin impor yang diberikan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebanyak 1,5 juta unit. Kebutuhan cangkul nasional rata-rata sebesar 10 juta unit per tahun dan belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri.

Pengamat Ekonomi Pertanian dan Lingkungan IPB, Ricky Avenzora menilai, diperlukan pembenahan menyeluruh baik dari sisi data maupun kebijakan pertanian yang berkaitan dengan industri, untuk mendukung pertanian dan industri nasional.

Ricky mengingatkan, sejatinya, Indonesia sudah mumpuni dalam hal memperkuat sektor pertanian. Sehigga jangan selalu bergantung impor.
Kata dia, jangankan untuk memproduksi  cangkul, jauh lebih dari itu bangsa Indonesia sudah lama mampu menciptakan berbagai prasyarat memperkuat sektor pertanian.

“Namun sayangnya para politisi dan elit pimpinan setiap rezim pemerintah dalam Era Reformasi ini telah semakin sesat fikir dan kehilangan moral dari tahun ke tahun. Fikiran mereka tidak lagi tergolong pendek sejengkal, melainkan hanya pendek seruas jari “kelingking-berkait”,” tegas Ricky, yang juga Dosen Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), kepada lintasterkini.com, Senin (20/3/2017).

Fenomena impor cangkul, itu juga bisa memberi sinyal tidak sinkronnya berbagai lembaga kementerian dan perusahaan BUMN dalam mendukung industri dan pertanian nasional. Untuk itu, kata Ricky, political orietation dan political will  dalam membangun pertanian tidak boleh lekang oleh perubahan rezim pemerintah, serta juga tidak boleh lapuk oleh paradigma modernisasi dan teknologi.

Sehingga, setiap petani, baik pada tataran individu maupun komunal,  beserta satuan ruang yang menjadi tempat tercipta dan terjadinya rangkaian dinamika pertanian, harus  menjadi subjek utama yang harus selalu dijaga, diperkokoh dan diperbesar eksistensinya.

“Adapun jenis, kualitas serta kuantitas komoditas pertanian yang dipilih output yang harus direncanakan pencapaiannya utk menjamin terciptanya kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya.

[NEXT]

Kata dia, ada sejumlah prasyarat agar sektor pertanian bisa mandiri. Pertama, adanya kesadaran yang tinggi akan hakekat pertanian, kedua; adanya kesungguhan  goodwill pemerintah untuk  menegakan hakekat pertanian, dan juga perlu dibuat  UU Pertanian.

“Pertanian haruslah bukan hanya dimaknai sebagai sektor pembangunan, bukan pula hanya sebagai komoditas ekonomi, maupun hanya sebagai “cultural history” saja. Secara hakekat, pertanian haruslah dimaknai dan dinyatakan sebagai soko-guru kehidupan,” tegas Ricky.

Pertanian, terbukti, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Berbagai komoditas yang dhasilkan pada berbagai jenis/kelompok kegiatan pertanian, hanyalah merupakan suatu bentuk compliment dari berbagai proses dan fase kegiatan yang dilakukan.

Demikian juga hal nya dengan berbagai nilai ekonomi yang didapatkan, tak lain sesungguhnya hanyalah merupakan decorative values dari semua kegiatan yang dilakukan.

“Jika kita semua mampu menyadari hakekat tersebut, maka berikutnya kita semua juga harus sepakat bahwa suatu soko-guru haruslah dijaga, dirawat dan terus diperbesar serta diperkokoh eksistensinya,” tandasnya.

Semua itu hanya akan dicapai, jika anggaran pertanian, kehutanan dan perkebunan bisa dialokasikan pada beaaran 15% dari APBN secara kontinyu setidaknya hingga 25 tahun mendatang.

Menurut dia, proses pembenahan sudah semakin sulit diharapkan dari barisan politisi yang telah bermetamorfosa menjadi elit pimpinan pemerintah. Bukan hanya karena keterbatasan kecerdasan sebagian besar mereka, melainkan juga karena buruknya atitude, moral serta sifat pengecut para politisi.

Ini bisa dilihat dari bagaimana politisi memainkan “politik sandra” dari rezim ke rezim. Lalu hitung pulalah besarnya kehilangan uang negara dari tahun karena kesesatan berfikir politisi; baik yang kemudian melahirkan “sesat program” dan kemubaziran, maupun yang kemudian merak korupsi sendiri pula melalui berbagi modus.

“Berbagai blow-up kisah pungli dan korupsi ibarat “rimah” dari makanan  politisi dan elit pimpinan yang rakus,” tegasnya. (*)

Exit mobile version