JAKARTA – Heboh tentang penolakan Ustadz Abdul Somad masuk ke Singapura, Pemerintah Singapura diakui punya otoritas menerima atau melarang kedatangan warga negara asing yang memasuki wilayah kedaulatannya.
Sikap dan kebijakan negara lain terkait kedaulatan masing-masing pun harus dihormati.
Namun, apakah bisa dibenarkan jika ada negara bebas menuduh dan memfitnah warga negara lain sebagaimana tuduhan pihak Singapura terhadap dai kondang Ustadz Abdul Somad?
Baca Juga :
Terlebih lagi, tuduhan itu menjadi kegaduhan di dalam negeri sehingga pihak Singapura seharusnya tidak ikut-ikutan menjadi pembenci terhadap dakwah-dakwah Abdul Somad sebagaimana para pembencinya menggaungkan berbagai bentuk penolakan.
Masalah ini menjadi perhatian dari anggota DPR RI Fraksi PKS Bukhori Yusuf. Dia prihatin dengan insiden penolakan Ustadz Abdul Somad (UAS) oleh Pemerintah Singapura. Meski secara prinsip hak otoritas Singapura untuk menerima atau melarang kedatangan warga negara asing yang memasuki wilayah kedaulatannya harus dihormati. Tapi tuduhan Singapura menyesatkan sehingga harus ditolak.
Namun, tuduhan Singapura kepada UAS tidak bisa diterima sehingga Singapura harus meminta maaf. Singapura tidak bisa bebas menuduh terlebih kepada ulama-ulama Indonesia. Pertimbangan otoritas Singapura melarang UAS masuk dengan alasan bahwa yang bersangkutan dianggap sebagai penceramah yang menyebarkan ajaran ekstremis dan bersifat segregasi sangat disesalkan.
“Kami menganggap pernyataan tersebut sebagai tuduhan yang serius dan sensitif bagi umat Islam. Padahal, UAS dikenal sebagai cendekiawan muslim yang memiliki pengaruh besar dan dihormati karena ceramahnya dapat diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia, bahkan kawasan. Reputasinya sebagai ulama yang bersikap positif sekaligus intelektual yang memiliki sumbangsih terhadap dakwah Islam dan penyelesaian problematika umat Islam juga telah diakui oleh Malaysia dan Brunei Darussalam,” jelasnya.
Untuk diketahui, International Islamic University College Selangor Malaysia menganugerahkan gelar kehormatan (Honoris Causa) kepada UAS pada 24 Januari 2022. Gelar tersebut diberikan karena UAS dinilai memiliki peranan terhadap bidang dakwah Islam dan ceramahnya dianggap tidak pernah menimbulkan kontroversi. Namun sebaliknya, ceramahnya dinilai mengandung seruan untuk persahabatan serumpun antara kedua negara dimana Islam sebagai pemersatunya.
Sebelumnya, UAS juga diketahui pernah mendapat gelar profesor tamu di Universiti Islam Sultan Sharif Ali (UNISSA) Brunei Darussalam pada Januari 2020. Gelar tersebut diberikan lantaran UAS dianggap sukses menjadi pendakwah yang produktif menerbitkan buku yang memberikan pencerahan atas persoalan umat Islam.
Anggota DPR yang mengurus bidang agama ini menengarai persepsi Pemerintah Singapura terhadap UAS tidak lepas dari pengaruh cap radikal yang kerap dialamatkan kepadanya oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab di dalam negeri. Kendati cap tersebut berulang kali telah terbantahkan, menurutnya, kejadian ini semestinya menjadi motivasi bagi pemerintah untuk segera menyusun produk hukum yang memberikan perlindungan bagi tokoh agama dari segala bentuk fitnah keji, ancaman, bahkan serangan fisik dan psikis yang dilancarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Reproduksi narasi radikalisme berbasis agama yang dilakukan secara serampangan dengan tujuan untuk menyerang sesama anak bangsa harus segera dihentikan. Selain memunculkan stigma negatif terhadap Islam dan kecurigaan antar umat beragama, narasi ini juga terbukti mempengaruhi cara pandang dunia terhadap masyarakat kita,” terangnya.
Oleh sebab itu, demikian Bukhori menambahkan, sejak 2019 tahun Fraksi PKS telah mengusulkan RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama sebagai ikhtiar untuk melindungi fisik, psikis, harkat dan martabat tokoh agama dari berbagai hal yang berpotensi mengancam diri, termasuk stigma yang menyudutkan mereka, ungkapnya.
Selain itu, Bukhori menyayangkan cara pandang Pemerintah Singapura terhadap UAS yang sarat dengan nuansa Islamofobia. Pasalnya, mereka mengaitkan UAS dalam kedudukannya sebagai pendakwah Islam dengan terminologi kekerasan dan ekstremisme tanpa dasar pembuktian yang kuat.
“Penjelasan yang disampaikan oleh mereka terkait alasan penolakan UAS tidak disampaikan secara utuh dan bertentangan dengan fakta sebenarnya sehingga persepsi yang terbentuk adalah pencekalan terhadap UAS sebagai bentuk ekspresi Islamofobia. Padahal, Islamofobia adalah bentuk diskriminasi yang saat ini secara masif sedang diperangi oleh banyak negara di dunia. Ini dibuktikan dengan keputusan PBB untuk menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Anti Islamofobia,” jelasnya.
Di sisi lain, Anggota Badan Legislasi ini menduga penolakan UAS dilatarbelakangi oleh motif politik karena posisi UAS yang tegas mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina terkait konflik di Palestina-Israel. Sebaliknya, posisi Singapura sendiri adalah sekutu dekat Israel di Asia Tenggara yang hingga saat ini belum mengakui kemerdekaan Palestina.
Ketua DPP PKS ini mendorong Pemerintah Indonesia membela harga diri warga negaranya yang dilecehkan dengan menyampaikan protes dan menuntut permintaan maaf Pemerintah Singapura atas pandangan negatifnya terhadap UAS.
“Kami menghargai sikap mereka untuk menolak. Akan tetapi, kami tidak bisa menerima pernyataan mereka yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya sehingga menyakiti hati umat Islam. Sebab itu, kami meminta pernyataan itu segera dicabut,” pungkasnya.
Sumber: Website Resmi PKS
Komentar