MAKASSAR – Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) modifikasi atau pelat yang tidak sesuai dengan spektek kian marak digunakan kendaraan di Sulawesi Selatan (Sulsel), termasuk di Kota Makassar. Hingga kini tidak pernah ada upaya untuk melakukan penertiban.
Pantauan Lintasterkini.com, kendaraan roda empat dan roda dua di Kota Makassar banyak menggunakan pelat modifikasi. Meski TNKB itu sesuai dengan nomor yang tertera pada Surat Tanda Naik Kendaraan (STNK), namun spesifikasinya tidak sesuai dengan yang dikeluarkan oleh Korlantas Polri.
Beberapa diantaranya sengaja dimodifikasi huruf atau nomornya. Tujuannya, agar mudah terbaca.
Ada pula ditemukan, kendaraan dengan pelat empat angka namun beberapa nomornya dikaburkan hingga hanya terlihat sebagian saja. Biasanya, pelat-pelat modifikasi itu sengaja dimodifikasi di tempat tertentu.
Terbukti memang, saat ini marak terlihat tempat modifikasi dan cetak pelat kendaraan yang tidak sesuai dengan spektek dari Polri. Lokasi cetak dan modifikasi itu tersebar di sejumlah wilayah di kota Makassar.
Antara lain, di Jalan Pelita, Jalan Sungai Saddang Baru, Jalan Veteran Selatan, dan Jalan Landak dan beberapa wilayah lain di Makassar. “Tempat cetak dan modifikasi ini sudah lama beroperasi. Dan banyak pengendara motor dan mobil memang sengaja datang untuk memodifikasi pelat kendaraan agar terlihat lebih cantik dan mudah terbaca,” ujar Suryadi, warga Jalan Pelita Raya.
Mengenai pelat kendaraan, sejatinya sudah diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang tertuang dalam Pasal 280.
Pada UU tersebut, jika pemilik kendaraan kedapatan melakukan modifikasi tata letak angka dan huruf pada nomor polisi akan dikenakan sanksi hukuman penjara atau membayar denda yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang.
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai mana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana dengan kurungan 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah),” bunyi Undang-Undang yang berlaku. (*)