Lintas Terkini

Buat Keterangan Palsu Soal Kehamilan, Korban Penganiayaan di Gowa Terancam 6 Tahun Penjara

Korban penganiayaan oknum Satpol PP Gowa, Riyana bersama suaminya.

MAKASSAR — Kasus penganiayaan pasangan suami istri (pasutri) oleh oknum Satpol PP Gowa terhadap pemilik warkop belum sepenuhnya tuntas. Termasuk dari korban sendiri.

Diketahui, Sekretaris Satpol PP Gowa itu kini telah dinonaktifkan, ditetapkan sebagai tersangka, dan telah ditahan polisi.

Namun, publik juga dibuat penasaran terkait keterangan korban yang mengaku dirinya tengah hamil. Sebab, berdasarkan hasil tes, ia tidak terbukti hamil alias negatif.

Terkait itu, akademisi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Hasnan Hasbi, mengatakan bahwa pihak kepolisian juga harus memproses klaim kehamilan sang korban yang bernama Riyana.

Sebab, menurutnya, kehamilan korban menjadi pemicu insiden penganiayaan itu viral dan menjadi atensi nasional.

“Pengakuan hamil itu bergelinding hingga menjadi isu nasional. Ketika itu tidak benar, itu menjadi keterangan palsu,” ujar Hasnan dikutip dari Rakyatku pada Selasa (20/7/2021).

Dosen Fakultas Hukum UMI itu menyatakan bahwa pemukulan yang dilakukan Mardani tidak bisa dibenarkan dan harus dipertanggungjawabkan melalui proses hukum, terlebih korban sudah melapor.

Akan tetapi, terkait keterangan soal kehamilan sang korban menurutnya pun harus dibuktikan.

“Kita tidak membahas penganiayaan. Penganiayaan murni pidana dan harus dipertanggungjawabkan meski asbabun nuzulnya adanya ketersinggungan,” sambungnya.

“Tetapi aparat penegak hukum tidak boleh tinggal diam dengan keterangan atau statement (hamil) yang menjadi isu liar yang disampaikan oleh korban,” lanjutnya lagi.

“Kenapa? Karena kronologi perbuatan terlapor tidak terpisah dengan keterangan saksi pelapor/korban agar semua keterangan-keterangan dapat dipertanggungjawabkan.”

Doktor hukum lulusan Universitas Tarumanegara Jakarta tersebut juga mengatakan bahwa jika kehamilan korban memang tidak bisa dibuktikan secara medis, maka hal itu merugikan banyak pihak. Bahkan katanya melanggar ketentuan hukum.

“Siapa yang dirugikan? Ya pembaca berita, dalam hal ini masyarakat yang akhirnya berasumsi liar akibat validitas kebenarannya belum teruji,” ungkap Hasnan.

“Ketika keterangan yang diterima masyarakat melalui media bahwa korban hamil ternyata tidak benar, maka berita itu termasuk keterangan palsu atau berita hoax. Itu bisa dikenakan UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 28 ayat 2 tentang berita bohong dengan ancaman pidana enam tahun penjara dan atau denda Rp6 miliar,” jelasnya.

Ia juga menyebut bahwa pihak kepolisian tidak perlu menunggu laporan polisi terkait klaim kehamilan korban di mana keterangan tersebut harus dipertanggungjawabkan secara hukum.

“Itu delik biasa. Polisi tidak perlu laporan karena masyarakat yang dirugikan. Tidak perlu aduan untuk memprosesnya. Bukan media yang keliru, tapi sumber keterangan, yakni korban yang dianggap tidak menyampaikan keterangan yang tidak benar atau hoax karena validitas kehamilan belum bisa dibuktikan,” paparnya.

“Akibatnya, itu mengundang huru-hara dan ganggu ketentraman di masyarakat. Keterangan korban (hamil) harus dipertanggungjawabkan,” pungkas Hasnan Hasbi.

Sebelumnya, korban yang diketahui mengatakan belum melakukan pemeriksaan secara medis dikarenakan ia sementara menjalani pengobatan.

“Saya lakukan pengobatan, bisa tengok FB saya. Bulan-bulan perut saya memang berbeda. Saya memang tidak anjurkan ke dokter, ini menurut saya sendiri karena saya memang untuk pengobatan,” jelas Riyana.

“Ada buktinya pengobatan, kalau ke dokter memang tidak nampak. Bisa buka semua FB saya, tiap bulan saya bagaimana. Sebentar kadang ini besar, sebentar besar, sebentar kempes,” tandasnya.(*)

Exit mobile version