BRUSSEL – Wakil Presiden RI yang ke 10 dan 12, M. Jusuf Kalla, di hari kedua, konferensi tentang perdamaian dunia di kota Brussel, Belgia, pada European Resources For Mediation Support, ditampilkan sebagai pembicara utama. Jusuf Kalla berbicara di hadapan para mediator dan calon mediator perdamaian dari berbagai negara dan organisasi internasional. Jusuf Kalla berbicara tentang perdamaian dalam perspektif Islam.
Menurut Jusuf Kalla, “jangan pernah lagi bertanya tentang ajaran Islam mengenai perdamaian.” Setiap kita bertemu orang, selalu kita awali dengan assalamu alaikum. Salam damai.” Ini berarti, dalam kehidupan social itu, damai adalah dasar untuk melakukan interaksi social. Damai adalah fondasi aktivitas keseharian bersa,ma dengan orang lain.
Orang Islam itu, lanjut Jusuf Kalla, melakukan kewajiban 5 kali sehari sholat. Tiap sholat diahiri dengan salam dua kali, yakni, sekali menghadap ke kanan, dan sekali menghadap ke kiri. Berarti, ada minimal sepuluh kali minimal, orang Islam itu memberi salam damai. Salam ke kiri dan kenan, bermakna sapaan kepada yang lain secara damai. Jadi apa yang mau disoal lagi, tegas Jusuf Kalla.
Mengapa islam dipersepsikan sebagai agama yang anti toleransi dan cenderung menggunakan dan menghalalkan cara-cara kekerasan? Jusuf Kalla menjawab sendiri pertanyaan yang diajukannya. “Itu semua karena kita memberi penilaian dan persepsi secara subjektif belaka,” tegas Jusuf Kalla.
Uni Soviet menginvasi dan mengokupasi Afghanistan selama sepuluh tahun. Rakyat Afghanistan Bersama pelbagai bangsa lain, terutama Amerika Serikat, saling membantu mengusir Uni Soviet. Para Mujahedeen itu digelar sebagai pahlawan, termasuk gelar tersebut diberikan oleh Amerika Serikat. Namun, ketika Amerika Serikat menyerbu ke Irak karena kesalahan informasi, rakyat Irak yang melawan dilebel sebagai teroris. Di mana letak keadilan dari perspekti ini? Begitu juga ketika kekuatan barat menyerbu, menghantam Syria dan Libya, semua lantaran perspektif teroris, minimal merek dicap sebagai ekstremist. Mereka melawan kekuatan hegemoni karena mereka mempertahankan kedaulatan mereka. Perlawanan mereka adalah ikhtiar untuk mempertahankan milik dan martabat mereka.
Kita hareus objektif melihat kondisi kekinian dan masa lalu yang pernah ada. Paham ekstrimism itu, bukan monopoli Islam. Paham dan praktek ekstrimism juga ada di Kristen, Hindu dan Budha.
Tatkala para penjajah dari barat memorak porandakan sendi-sendi kehidupan di Afrika dan Asia, negara-negara Islam yang mereeka jajah itu, tidak pernah mengatakan bahwa negara mereka dijajah oleh kolinialisme Kristen atau Katolik. Mereka mengutuk kolonialisme itu dengan lebel nama negara, misalnya Inggris, Perancis dan Spanyol. Ini menunjukkan bahwa negara-negara Islam sangat menghormati agama lain. Tidak mau sembarang melebel, karena faktanya memang, yang melakukan kolonialisme itu adalah nama negara dan bangsa.
Lebih jauh, Jusuf Kalla menguraikan, Islam yang masuk ke Indonesia, adalah islam yang dibawa oleh pada saudagar Arab. Karena itu, sangat ratsional. Sangat toleran karena saudagar itu selalu mencari sahabat, bukan mencari musuh.
Berdasarkan itu semua, Jusuf Kalla menilai, ada semacam ketidakadilan dalam membangun perspektif untuk menilai Islam di dunia sekarang ini, dan harus dihentikan. Semua conflik yang terjadi sekarang, terutama yang dialami oleh negara atau masyarakat islam, bukanlah konflik agama, tetapi masalah ketidakadilan ekonomi, social dan politik. Ini yang harus dibereskan. Jangan berbicara tentang ajaran islam melulu. Kondisi Islam yang harus dibenahi.
Dalam forum dan sesi yang sama, selaku peserta konferensi, Hamid Awaludin, mantan Menteri Hukum dan HAM, berbicara tentang persepsi keliru mengenai diskriminasi dan pemarjinalan perempuan di masyarakat Islam. Banyak orang yang gagal paham mengenai ini. Ajaran islam mengenai perempuan sangat jelas, kata Hamid, sembari mengutip Hadis Nabi: “Surga terlketak di bawah kaki Ibu.” Ini adalah sebuah sikap tegas Islam bagaimana perempuan itu diberi tempat paling berharga. Surg aitu kan tujuan semua orang yang beragama. Dan surga berada pada Ibu, lanjut Hamid lagi.
Masalah persepsi keliru mengenai ajaran Islam yang dinilai sangat diskriminatif terhadap perempuan, itu bergantung pada proses evolusi sejarah masyarakat Islam. Di masyarakat tradisional yang pola hidupnya adalah adalah memburu atau Bertani, di situ terjadi pembagian kerja (division of labor) yang sangat ekstrim antara tugas kaum pria dan tugas kaum perempuan. Pembagian kerja yang ekstrem tersebut acapkali dipersepsikan sebagai diskriminatif dan tidak adil. Ini proses sejarah dan adat. Bukan soal ajaran Islam.
Namun, bila kita melihat masyarakat Islam sekarang yang masuk dalam kategori industry, atau setidaknya bukan negara agraris, pembagian kerja yang ekstrim itu tidak lagi dikotomis, tetapi saling melengkapi. Nah, dalam konteks inilah seytogianya kita arif menyikap agenda diskriminasi perempuan dalam perspektif Islam, tegas Hamid Awaludin. (*)