JAKARTA – Peneliti Eksekutif Senior OJK, Hendrikus Passagi menyebutkan, keberadaan penyedia layanan jasa keuangan berbasis teknologi atau financial technology diharapkan mampu mengurangi jumlah kebutuhan pembiayaan atau kredit di Indonesia yang saat ini mencapai Rp1000 triliun per tahun.
“Saat ini jumlah kebutuhan pembiayaan di Indonesia mencapai Rp. 1000 triliun yang tidak bisa dipenuhi Industri Perbankan, IKNB dan Pasar Modal,” kata Hendrikus di Jakarta, Senin, (19/12/2016).
Hendrikus mengatakan, dampak dari jumlah kebutuhan pembiayaan yang belum bisa dipenuhi tersebut kemudian membuat banyak orang di daerah tersebut kusulitan untuk meminjam uang dan kalaupun mereka meminjam akan ke tengkulak di daerah.
“Jadi mereka pinjam dulu, atau istilahnya ijon. kemudian harga ditetapkan oleh mereka, sehingga para pengamat menyebutnya petani didaerah itu sulit menjadi kaya, dan yang menjadi kaya adalah para pedagang atau tengkulaknya,” katanya.
Pihaknya menyebutkan, inovasi atau perkembangan yang ada di dalam penyedia layanan jasa keuangan berbasis teknologi tersebut merupan isu-isu yang relevan jika dilihat dari arah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mulai dari isu inklusi keuangan dan percepatan akses keuangan di daerah, yang kemudian ada Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI), Paket Ekonomi Ekonomi ke-14 yang di dalamnya ada pembiayaan start up dan tim percepatan akses keuangan daerah.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh para perusahaan finansial berbasis teknologi informasi merupakan bagian atau salah satu upaya memberi kontribusi positif bagi kebijakan yang sudah ada. Terkait deng RPOJK yang sedang disusun pihaknya menyebutkan kegiatan yang diatur adalah kegiatan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi off balance sheet bukan on balance sheet.
“Mengapa tidak on balance sheet, karena sudah ada peraturan lain yang mengatur pinjaman on balance sheet, misalnya perbankan dan perusahaan industri keuangan non Bank. Selain itu agar tidak berseberangan dengan yang lainnya,” ujarnya.
Ia menyebutkan, pinjaman off balance sheet akan lebih mempermudah Penerapan Program Anti Pencucian Uang & Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT). Sebab jika dia pinjamnya langsung antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman maka itu secara independen memberikan assessment atau penilaian.
“Dengan model pinjaman dengan sistem off balance sheet akan mempermudah dan bisa merambah sampai ke daerah-daerah,” pungkasnya.
Pihaknya juga mendorong para perusahaan finansial berbasis teknologi informasi agar unit bisnis mengikuti sistem off balance sheet. Hal itu untuk mengisi kebutuhan pembiayaan yang belum dipenuhi oleh industri non bank dan pasar modal yang saat ini jumlanya sangat besar. (*)