JAKARTA – Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) menyebutkan, pada Minggu (22/8/2021) besok, akan ada fenomena antariksa bernama Bulan Biru atau Blue Moon. Berbeda dengan gerhana bulan, Bulan Biru termasuk fenomena langka.
Peneliti Pusat Sains dan Antariksa Lapan, Andi Pangerang mengatakan, Bulan Biru merupakan Bulan purnama ketiga dari salah satu musim astronomis yang di dalamnya terjadi empat kali Bulan purnama, atau dikenal dengan Bulan Biru Musiman.
“Purnama pada 22 Agustus termasuk dalam Bulan Biru Musiman,” ujar Andi dikutip Kompas.com, Sabtu (21/8/2021).
Ia menyebutkan, Bulan Biru Musiman lebih jarang terjadi daripada Bulan Biru Bulanan. Bulan Biru Bulanan adalah Bulan purnama kedua dari salah satu bulan di dalam kalender Masehi yang di dalamnya terjadi dua kali Bulan purnama.
Dalam 1.100 tahun antara tahun 1.550 dan 2.650, ada 408 Bulan Baru Musimam dan 456 Bulan Baru Tahunan. “Dengan demikian, baik musiman maupun bulanan, Bulan Biru terjadi kira-kira setiap dua atau tiga tahun,” ujar Andi.
Sementara, Bulan Biru yang benar-benar berwarna biru dapat terjadi sangat langka dan tidak ada hubungannya dengan kalender, fase bulan atau jatuhnya musim, melainkan akibat dari kondisi atmosfer.
Kenapa disebut Bulan Biru? “Itu karena abu vulkanik dan kabut asap, droplet di udara, atau jenis awan tertentu dapat menyebabkan Bulan Purnama tampak kebiruan,” jelas Andi.
Bagi yang tertarik menyaksikan fenomena Bulan Biru, fenomena ini bisa dilihat di seluruh wilayah Indonesia. Puncak Bulan Biru berlangsung pada pukul 19.01.56 WIB atau 20.01.56 WITA atau 21.01.56 WIT.
“Jadi, sejak Matahari terbenam (sesuai geografis masing-masing) hingga sebelum terbit Matahari sudah bisa disaksikan,” ujar Andi.
Kemunculan Bulan Biru ini berawal dari arah timur-tenggara hingga barat-bara laut. Sementara, untuk lintang 1-2 derajat lintang utara, Bulan berkulminasi di zenit atau tepat di atas kepala penonton. Artinya, di wilayah sebelah selatannya, Bulan akan berkulminasi di sebelah utara, dan sebaliknya untuk wilayah sebelah utaranya.
“Kulminasinya sekitar tengah malam,” lanjut dia.
Tidak perlu alat bantu optik apa pun untuk menyaksikan Bulan Biru. Masyarakat dapat menyaksikan fenomena astronomi ini secara langsung atau dengan kamera ponsel.
“Kalau tidak untuk dipotret secara detail ya pakai mata biasa saja dan kamera ponsel saat ini juga sudah cukup,” ujar Andi. Sementara, bagi mereka yang ingin mengabadikan momen ini, Andi menyarankan agar menggunakan lensa yang mumpuni agar fitur kawah-kawah bulan terlihat atau secara detail.
Tidak hanya faktor alat, fenomena Bulan Biru akan tampak terlihat cantik jika cuaca cerah, bebas polusi cahaya, langit bersih, dan juga bebas dari penghalang seperti pohon, rumah tingkat, gedung, gunung, tiang, dan lainnya.
Fenomena Bulan Biru ini berlangsung cukup lama yakni selama Bulan berada di atas ufuk. Oleh karena itu, masyarakat masih dapat melihatnya sejak Matahari terbenam hingga Matahari terbit di keesokan paginya.
Andi mengatakan, keistimewaan Bulan Biru saat puncak yakni Bulan akan terlihat bulat penuh. “Bulan akan terlihat bunder seser (kalau istilah Jawa-nya), karena pencahayaan atau iluminasinya 100 persen, tidak seperti hari-hari lainnya,” ujar Andi. Bahkan, jika masyarakat berada di tempat yang sangat gelap, ketika disinari purnama, maka masih bisa melihat bayangan benda. (*)