JAKARTA – Dunia pendidikan kembali dihebohkan dengan viralnya video pemukulan seorang siswa SMK Kesatrian Purwokerto oleh gurunyanya sendiri. Video yang menunjukkan seorang guru sedang menampar siswanya dengan sangat keras yang disaksikan 9 siswa lainnya di dalam kelas.
“Tentu saja peristiwa ini kembali mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Segenap pengurus FSGI menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas kasus ini,” ujar Heru Purno, Sekjen Federasi Seikat Guru Indonesia (FSGI).
Kata Heru, FSGI memandang kasus ini sebagai fenomena gunung es yang setiap saat dapat menjadi masalah besar di setiap sekolah. Jika Pemerintah dan masyarakat pendidikan tidak serius menangani, maka kekerasan dalam pendidikan masih akan terus terjadi, bahkan di dalam kelas yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik.
[NEXT]
Menampar Siswa Bukan Mendidik Disiplin Positip
Kekerasan yang dilakukan seorang guru terhadap siswanya di Indonesia cukup sering terjadi. Hal ini terjadi karena para orangtua maupun guru memiliki anggapan bahwa mendidik dan mendisiplinkan anak harus dilakukan dengan kekerasan.
Apapun alasannya tindak kekerasan tidak dibenarkan. Apalagi tindakan itu dilakukan guru terhadap siswanya.
“Alasan guru melakukan tindak kekerasan karena guru beranggapan bahwa kekerasan diperlukan untuk mendisiplinkan siswa. Jika guru beranggapan seperti itu maka akan selalu ada korban kekerasan di sekolah dan sulit memutus mantai rantai kekerasan di sekolah,” ujar Heru lagi.
Perilaku guru yang melakukan tindak kekerasan tidak mencerminkan kompetensi kepribadian, sehingga diragukan keguruannya. Kompetensi kepribadian seorang guru memiliki indicator, diantaranya kepribadian yang mantap dan emosi yang stabil.
Adapun esensinya yaitu bertindak sesuai dengan Norma Hukum, Norma Sosial, Norma Agama dan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tupoksinya, guru harus dibekali kemampuan manajemen pengelolaan kelas, karena setiap guru pasti akan menghadapi anak yang perilakunya agresif dan sulit diatur.
“Memberikan sanksi kepada siswa haruslah bersifat mendidik, bukan dengan kekerasan. Siswa yang dianggap tidak tertib harus dibina dan diberikan sanksi berupa disiplin yang positif. Menampar siswa yang tidak tertib bukan merupakan disiplin yang positif, tetapi justru melaanggar UU Perlindungan Anak,” urai Mansur, pengurus daerah FSGI di Mataram, NTB.
[NEXT]
Guru Pelaku Harus Didampingi Organisasi Profesinya
Karena kasus tindak kekerasan oknum guru terhadap siswanya di Purwokerto merupakan tindakan yang berpotensi tindak pidana dan menjadi kewenangan Kepolisian, maka selanjutnya mekanisme hukum yang berjalan dan harus dihormati.
“Akan tetapi Organisasi Profesi Guru yang menaungi guru pelaku harus memberikan pendampingan hukum terhadap oknum guru tersebut, sehingga proses hukum berjalan secara professional dan adil,” ujar Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekjen FSGI.
Hal tersebut lanjut Fahriza, sesuai dengan UUGD pasal 39 ayat 1 menyebutkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, organisasi profesi dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas.
Selain itu, FSGI mengingatkan bahwa Kemenristekdikti (kususnya LPTK) untuk membekali mahasiswa calon guru dengan praktek-praktek terbaik dalam menumbuhkan minat dan disiplin siswa dalam belajar. Sehingga ketika calon guru menjadi guru dan melaksanakan tugas di lapangan yang sebenarnya, tidak gagap ketika menghadapi siswa yang indisipliner .
[NEXT]
Sikap FSGI
Terhadap kasus kekerasan oknum guru di Purwokerto tersebut, lanjut Sekjen FSGI Heru Purno, posisi FSGI dalam kasus ini adalah tetap konsen dengan perlindungan terhadap profesi guru dan masa depan pendidikan indonesia. FSGI konsisten pada salah satu fungsi organisasi profesi sesuai amanat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang harus melindungi anggotanya dari segala bentuk pelemahan profesi dan atau kriminalisasi.
“Tetapi dalam waktu bersamaan FSGI juga taat azas dan aturan sehingga siapapun termasuk guru, apabila melanggar aturan dan tidak sesuai dengan norma pendidikan, apalagi dapat mengancam dan membahayakan keselamatan anak didik tentu saja FSGI akan berada di pihak korban,” ujarnya.
Terkait dengan HAM (Hak Asasi Manusia), ternyata banyak guru yang beranggapan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama mendisiplinkan tidak akan melanggar HAM, karena merasa setiap orang juga dilindungi HAM.
“Guru lupa bahwa pada saat dirinya bertugas/mengajar Guru adalah representasi negara sesuai UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, yang berfungsi sebagai aparatur Negara ataua pejabat publik yang wajib menghormati dan melindungi Hak Asasi orang lain/muridnya, yang karena itu guru tidak sedang dilindungi oleh HAM,” tambah Heru.
Dalam ketentuan PP Nomor 74 Tahun 2008, Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma/peraturan, tetapi jelas disebutkan bahwa sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
“Jadi jelaslah bahwa Hukuman dalam bentuk kekerasan fisik maupun verbal tidak dapat dibenarkan, dan bahkan berpotensi menjadi tindakan pidana, yaitu melanggar undang-undang Perlindungan Anak,” tutupnya. (*/B)