MAKASSAR – Ketua DPRD Kota Makassar, Rudianto Lallo, kembali memfasilitasi mantan aktivis 1998 berbincang dengan organisasi mahasiswa di Kota Makassar.
Jika sebelumnya menghadirkan Pius Lustrilanang yang memberikan orasi terkait reformasi di hadapan peserta jalan sehat, kali ini Willy Aditya yang juga mantan aktivis 98 yang membagikan pemikiranya di hadapan aktivis mahasiswa di Makassar.
Melalui acara ‘Bincang Tokoh Bersama Willy Aditya’ yang juga saat ini menjabat anggota DPR RI dari Nasdem, digelar di Baruga Karaeng Matoayya, Rumah Jabatan Ketua DPRD Kota Makassar, Jl Jend Hertasning, Makassar, Rabu (21/6/2023) malam.
Baca Juga :
Ketua DPRD Kota Makassar, Rudianto Lallo, mengatakan, alasan menggelar diskusi antara mahasiswa dengan tokoh mantan aktivis mahasiswa 98 ini, ingin memberikan edukasi bagi mahasiswa sebagai kaum intelektual tentang dinamika kebangsaan.
“Ya Saya mau mencoba mengedukasi anak-anak kita adik-adik kita yang memilih jalan sebagai aktivitas kampus,” ungkap, RL akronim Rudianto Lallo.
Bincang tokoh dipandu Susuman Halim lalu diikuti peserta dari para organisasi kemahasiswaan, aktivis Cipayung, PMKRI, HMI, KNPI, LMND, GMNI, LIDMI, NU, Muhammadiyah, IKA Alumni Unhas Makassar, dan lainnya.
“Yah, kampus saya undang, dari pertama ini, tentang kebangsaan saya coba menjadi fasilitator disini, di markas masing-masing bilamana ada tokoh nasional tokoh pergerakan selama ini dikenal publik dikenal adik-adik kita datang ke Makassar,” jelasnya.
Dengan bincang tokoh ini, kata RL, barangkali ada ilmu gagasan ide yang mau ditransfer kepada adik-adik mahasiswa.
“Yang dapat memberikan energi, gerakan, bagi adik adik kita, anak-anak kita aktivis kampus di Makassar seperti yang terjadi kita diskusi bersama saling berbeda pendapat kita mau memulai dari sini rumah rakyat (rujab). Apalagi, kebetulan saya juga aktivis jadi baguslah,” tutur Anak Rakyat, sapaan khas Rudianto Lallo.
Dalam materi diskusi dari Willy Aditya menyampaikan suka tidak suka, senang tidak senang Makassar adalah episentrum gerakan.
“Yang namanya gerakan cuman memiliki spirit yang sama, spirit yang berlawan. Kalau 98 itu lebih kepada freedom of expression (kebebasan berekspresi),” katanya.
“Teman-teman bisa bayangkan bagaimana magisnya teriakan salam demokrasi, hidup demokrasi. Itu begitu magis sekali, begitu digdaya sekali. Tapi sekarang itu jadi hampir-hampir tidak ada artinya, ngga bergetar gitu yah, kalau kita kutip Tan Malaka itu kan, kalau kau tergetar hatimu melihat penindasan berarti kau sahabatku,” sambung Willy di hadapan mahasiswa.
Willy melanjutkan, setiap anak zaman memiliki tantangannya. Bahwasanya ’98’ mematahkan gerakan mahasiswa sebelumya.
Saat ditanya sejauh mana hasil pascareformasi 1998, kata Willy, adalah salah satunya partai politik yang saat ini dibentuk mengawal kesejahteraan rakyat.
“Kalau ditanya apa capaian reformasi?, Partai politik itu anak kandung dari reformasi. Kedua kebebasan pers, sebagai pilar demokrasi,” ungkapnya dan masih panjang lagi ulasannya.
Komentar