MAKASSAR – Sidang perdana kasus dugaan suap Gubernur Sulsel nonaktif Nurdin Abdullah (NA) digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Makassar, Kamis (22/7/2021).
Pada kesempatan itu, NA yang hadir secara virtual, tidak mengajukan eksepsi. Bersama tim penasihat hukumnya, NA lebih memilih membuka fakta-fakta terkait perkara tersebut di persidangan.
Alasan ini dinilai tepat, agar publik bisa mengetahui hal yang sebenarnya. Itu didasari ada sejumlah poin dalam dakwaan yang dinilai tidak sesuai dengan fakta sesungguhnya.
Baca Juga :
“Maaf yang mulia, kami tidak akan mengajukan eksepsi,” kata Nurdin Abdullah kepada majelis hakim yang diketuai Ibrahim Palino secara virtual dari rumah tahanan (rutan) KPK di Jakarta.
Kendati mantan Bupati Bantaeng dua periode ini tidak menjelaskan lebih lanjut alasan tidak mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun diungkap Irwan, penasehat hukum NA yang ditemui usai sidang, hal ini ditempuh untuk mempercepat jalannya persidangan.
“Kita ingin supaya langsung pembuktian saja untuk mempercepat persidangan. Lagian dakwaan JPU KPK itu, sifatnya masih sebatas dugaan. Sehingga harus dibuktikan dalam persidangan. Apa benar atau tidak dugaan itu,” beber Irwan.
Dalam dakwaan JPU KPK disebutkan, Nurdin Abdullah diduga menerima suap dan gratifikasi terkait pembangunan paket proyek infrastruktur di lingkup Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel.
NA diduga menerima uang berjumlah Rp6.587.600.000,00 dan SGD200.000 (dua ratus ribu dollar Singapura). Namun jaksa kemudian menegaskan, kalau seluruh uang tersebut harus dianggap sebagai suap.
“Haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban serta tugas terdakwa selaku Gubernur Sulawesi Selatan, periode tahun 2018-2023 yang merupakan penyelenggara negara untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme,” kata Ketua Tim JPU KPK, Muhammad Asri Irwan saat membacakan dakwaan.
Menurut jaksa, NA dinilai melanggar Pasal 5 angka 4 dan Pasal 5 angka 6 Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme jo Pasal 76 ayat (1) huruf a dan e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
JPU KPK juga mendakwa Nurdin Abdullah dengan ancaman pidana dalam Pasal 12 B Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.(*)
Komentar