JAKARTA – Wakil Ketua MPR, Hadjriyanto Y Thohari menilai keputusan pemilu serentak pada Pemilu 2019 oleh Mahkamah Konstitusi sangat aneh. Sebab peserta pemilu dipaksa menjalankan undang-undang yang sudah tak konstitusional pada Pemilu 2014.
“Jawaban MK harus tegas, kalau konstitusional ya harus go ahead. Anehnya kita harus melakukan pemilu yang tak konstitusional. Keputusan MK jadi banci,” tegas Hajriyanto saat ditemui usai Rakornas Badan Koordinasi Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Kamis 23 Januari 2014.
Dia juga menilai amar putusan MK terkait pemilu serentak terlalu melebihi kewenangan MK sebagai penguji undang-undang. Menurutnya, MK tidak bisa mengeluarkan regulasi, mengingat itu wilayah DPR dan Presiden.
“Apalagi MK menetapkan penjadwalan. Jadi ini seperti lembaga bukan MK. MK harus simpel, konstitusional atau tidak sebuah UU,” katanya.
Hajriyanto merasa terdapat pertimbangan-pertimbangan yang tak konstitusional dibalik keputusan itu. “Ya keputusannya jadi banci,” ujar Ketua DPP Partai Golkar itu.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya bahwa Mahkamah Konsititusi sudah memutuskan bahwa Pemilu presiden dan wakil presiden serta Pemilihan Umum anggota legislatif dilaksanakan serentak atau bersamaan mulai tahun 2019.
“Pelaksanaan pemilihan umum serentak berlaku untuk tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, saat membacakan putusan di gedung MK, hari ini.
MK menyatakan Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 12 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang dimohonkan judicial review oleh pakar komunikasi Effendy Gazali, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Meski begitu, para majelis hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa jika Pemilu serentak dilaksanakan pada tahun 2014, maka tahapan Pemilu yang saat ini sedang berlangsung menjadi terganggu dan terhambat karena kehilangan dasar hukum. (viva)