Kebijakan PPKM Jawa-Bali Belum Menggembirakan

Kebijakan PPKM Jawa-Bali Belum Menggembirakan

JAKARTA — Tren perkembangan peta zonasi risiko untuk Pulau Jawa dan Bali dalam kurun waktu 4 minggu terakhir, belum menggembirakan. Kebijakan PPKM Jawa-Bali belum juga menunjukkan perubahan membaik secara signifikan.

Namun begitu, masih diharapkan dengan kebijakan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa dan Bali yang telah diperpanjang hingga 8 Februari 2021, dapat menunjukkan hasil yang diharapkan membaik.

Melihat pada tren perkembangannya di Pulau Jawa dan Bali, per 27 Desember 2021, zona merah sebanyak 41 kabupaten/kota sempat mengalami penurunan zona merah atau risiko tinggi pada 3 Januari 2021. Dari 41 zona merah turun menjadi 32 kabupaten/kota.

Namun kembali meningkat pada minggu berikutnya pada 10 Januari 2021 menjadi 39 kabupaten/kota. Tren peningkatan terus naik hingga bertambah menjadi 52 kabupaten/kota.

“Ini berarti hampir setengah zona merah di Indonesia berasal dari Pulau Jawa dan Bali. Sebagai informasi, zona merah di Indonesia saat ini berjumlah 108 kabupaten/kota,” ungkap Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito, memberi keterangan pers di Gedung BNPB Jakarta, Kamis (21/1/2021).

Lalu, jika melihat pada 73 kabupaten/kota yang wajib menerapkan PPKM Jawa – Bali, per 17 Januari 2021, ada 39 kabupaten/kota dalam zona merah, sebanyak 30 kabupaten/kota zona oranye atau risiko sedang, dan 4 kabupaten/kota zona kuning. Khusus zona merah dan oranye terlihat meningkat dibanding minggu sebelumnya.

“Hal ini menandakan bahwa kebijakan intervensi pembatasan kegiatan di Pulau Jawa dan Bali, masih harus terus dioptimalkan. Kita masih memiliki harapan besar pada intevensi pembatasan kegiatan ini,” ujar Wiku.

Sebagai bentuk intervensi, PPKM membutuhkan waktu agar hasilnya bisa terlihat pada minggu ketiga sejak intervensi dilakukan. Dengan menerapkannya secara disiplin dan serius, maka peta zonasi risiko akan bergeser kearah yang lebih baik.

“Apabila tidak, maka kita akan terus memperpanjang periode pembatasan kegiatan ini terus-menerus agar menjadi efektif sampai waktu yang tidak bisa diprediksi,”  tegasnya.

Kunci untuk memperbaiki penanganan ini adalah dengan meningkatkan PCR di laboratorium dan memperluas cakupan penelusuran kontak erat. Lalu, bagi daerah yang masih kesulitan menggunakan pemeriksaan PCR, maka pemeriksaan dapat dilakukan menggunakan rapid test antigen terlebih dahulu sebagai upaya screening dan mendeteksi secara dini dan berdampak mencegah penularan.

“Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan juga menjadi kunci keberhasilan meningkatkan kesembuhan dan mencegah kematian. Dan akan mempengaruhi terhadap peta zonasi risiko ke arah lebih baik,” tutupnya. (*)