Logo Lintasterkini

DPR Dukung Sikap Tegas Pemerintah terhadap Freeport Indonesia

Abdul Gaffar Mattola
Abdul Gaffar Mattola

Kamis, 23 Februari 2017 08:53

President dan CEO Freeport-McMoRan Inc Richard C Adkerson.
President dan CEO Freeport-McMoRan Inc Richard C Adkerson.

LINTASTERKINI.COM – DPR RI mendukung sikap tegas Pemerintah RI untuk mempertahankan skema baru kerja sama yang ditawarkan pada perusahaan milik Amerika Serikat itu. Freeport McMoran Inc sendiri menegaskan sikapnya untuk tidak menerima tawaran skema baru kerja sama dengan Pemerintah RI dengan mengubah status Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada anak usahanya di Indonesia, PT Freeport Indonesia (PTFI).

Tidak setuju dengan skema baru kerja sama yang ditawarkan Pemerintah, justru Freeport McMoran berniat menyelesaikan persoalan ini melalui jalur arbitrase. Keengganan Freeport McMoran untuk menerima ajakan pemerintah untuk membangun kerja sama yang lebih baik ini seperti menjawab prediksi para pakar.

Tanda-tanda perusahaan asal Amerika Serikat tersebut tak mau mematuhi pemerintah sudah terlihat sejak tarik ulur masalah revisi kontrak karya yang disodorkan sejak 2014. Pakar sekaligus pengamat BUMN, Said Didu, menyatakan bahwa ulah Freeport McMoran yang seperti ini memang sudah bisa ditebak.

“Seperti perkiraan saya, hari ini Freeport sudah menyatakan bahwa sudah serius memikirkan untuk memulai proses arbitrase,” ucap Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) era 2014-2016.

Komentar Said menyusul pernyataan CEO Freeport-McMoran Richard C. Adkerson soal kesiapannya menghadapi arbitrase. Big bos yang saat ini sedang berada di Jakarta, menyatakan PTFI tidak mau mengakhiri Kontrak Karya 1991, seperti permintaan Pemerintah Indonesia.

“Termasuk hak untuk memulai arbitrase untuk menegakkan setiap ketentuan-ketentuan Kontrak Karya dan memperoleh ganti rugi yang sesuai,” ujar Richard melalui sebuah siaran pers, Senin, (20/2/2017).

Said mengatakan, arbitrase ini adalah buntut kebijakan yang tidak jelas dari Indonesia. Ketidakjelasan itu juga akibat dari banyaknya ‘benalu’ di perundingan Indonesia-PTFI.

Walaupun kontrak PTFI baru selesai tahun 2021, namun PTFI sudah meminta kepastian perpanjangan kontraknya sejak 2015. Namun, kepastian yang diharapkan berbenturan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017, yang menegaskan agar PTFI harus membangun smelter dan juga divestasi saham sebesar 51 persen.

[NEXT]

Bagi Freeport justru sebaliknya. Agar pembangunan smelter berjalan, diperlukan keputusan apakah kontraknya diperpanjang atau tidak. Kepastian tersebut dibutuhkan bagi masuknya investasi untuk membangun smelter.

Tapi, sambung dia, saat itu sebetulnya negosisasi hampir selesai. Seperti, perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), menyerahkan saham secara bertahap hingga 51 persen, peningkatan pendapatan negara menjadi sekitar 60 persen. Kemudian penggunaan produk dalam negeri menjadi 90 persen lebih dan penggunaan tenaga kerja lokal menjadi 99 persen. Itu semua sudah hampir disepakati.

“Tapi tahu-tahu ada penumpang gelap yang bermain. Benalu. Atau yang kita kenal dengan kasus ‘papa minta saham’. Itu bikin semua buyar, perundingan batal,” ucapnya.

Termasuk soal kewajiban divestasi saham 51 persen. Freeport, dari yang semula memberikan sinyal positif, berubah sikap. Keseriusan Freeport dipertanyakan, bahkan sikapnya dianggap arogan. Seolah menggampangkan ketentuan pemerintah.

Namun, sikap itu seyogyanya perlu dijadikan evaluasi bagi Indonesia sendiri. Boleh jadi, persoalan siapa yang akan memegang 51 persen sahamnya, yang menjadi pertimbangan PTFI.

“Siapa yang akan membeli saham itu. Apakah pemerintah? Tapi mereka tahu APBN 2017 tidak ada (anggaran) untuk pembelian saham itu. Apakah BUMN? Itu juga belum jelas,” ujar Said.

[NEXT]

Alhasil, banyak wacana berbau ‘mungkin’ soal pembelian saham Freeport ini. Termasuk mengarah kepada para benalu, alias penumpang gelap di perundingan-perundingan Indonesia-Freeport.

“Apakah swasta yang akan membeli? Atau ‘teman papa’ juga mau masuk membeli? Mudah-mudahan pikiran saya ini salah,” ucap mantan Sekretaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.

PTFI terus mempertahankan status Kontrak Karya. Menolak perjanjian baru di atas IUPK sesuai amanah UU Minerba. Bahkan, sebagian kalangan menilai tuntutan PTFI terlalu berlebihan.

Salah satunya terkait pajak, PTFI ingin nilainya tetap sesuai perjanjian awal hingga berakhirnya kontrak. Sementara, dalam perjanjian yang diteken pada 1991 itu disebutkan PTFI boleh meminta dan menentukan perpanjangan kontrak kapan saja.

Selain itu, perusahaan tambang dengan cadangan biji emas terbesar di dunia itu juga mengajukan insentif khusus yang memudahkan operasinya. Namun, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasuition sempat menolak permintaan itu, dengan mengatakan, “tidak perlu lagi ada insentif khusus bagi Freeport.”

Inilah yang memunculkan panas-dingin hubungan Indonesia dengan Freeport. Bahkan, mayoritas fraksi di DPR RI mendukung sikap tegas pemerintah. (Sumber : Metrotvnews.com)

 Komentar

 Terbaru

News22 Maret 2025 00:00
Dinas Perpustakaan Sulsel Berbagi Takjil dan Pakaian untuk Kaum Dhuafa di Malengkeri
MAKASSAR – Dalam semangat kepedulian di bulan suci Ramadhan, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan melalui UPT. Perpustakaan me...
News21 Maret 2025 21:50
Pengurus Karang Taruna Pinrang Masa Bakti 2025 – 2030 Resmi Dikukuhkan
PINRANG — Bupati Pinrang Irwan Hamid secara resmi mengukuhkan Pengurus Karang Taruna Kabupaten Pinrang masa bakti 2025-2030 di Ruang Pola Kantor...
News21 Maret 2025 18:59
Polres Palopo Ungkap Kasus Pembunuhan Feni Ere, IPDA Hewith Manurung Tuai Apresiasi
PALOPO – Polres Palopo berhasil mengungkap kasus pembunuhan keji yang menimpa Feni Ere (28), warga Mungkajang, Kota Palopo. Dalam keberhasilan ini, ...
News21 Maret 2025 15:55
Pemkab Pinrang Kembali Gelar Klinik Ramadan
PINRANG — Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pinrang kembali menggelar Klinik Ramadan, sebuah tradisi tahunan yang menjadi ajang mempererat silaturah...