KEDIRI – Sony Sandra (63), terpidana kasus pencabulan dengan korban anak di bawah umur telah diganjar 9 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (19/5/2016) lalu.
Dikutip dari kompas.com, hari ini, Senin (23/5/2016), rencananya dia menerima vonis dari majelis hakim PN Kabupaten Kediri atas perkara yang sama.
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Kabupaten Kediri dalam persidangan sebelumnya meminta majelis hakim memvonis terdakwa 14 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Jaksa menghadirkan saksi dua orang gadis di bawah umur yang menjadi korbannya.
“Awalnya ada empat korban, tapi kemudian 2 orang mencabut keterangannya di bawah notaris,” ujar Pipuk Firman, kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Kediri, dalam suatu kesempatan.
Persidangan itu sedianya akan dipimpin oleh I Komang Dediek Prayogo dengan dua orang anggotanya, yaitu Purnomo Adi dan Lila Sari.
Sebelumnya, terdakwa yang berlatar belakang pengusaha kelas kakap di Kediri itu telah diputus 9 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 4 bulan oleh PN Kota Kediri, Kamis (19/5/2016).
Pada persidangan itu, ada 3 orang gadis di bawah umur yang menjadi korbannya. Persidangan yang dipimpin oleh Purnomo Amin Tjahyo saat itu menyatakan Sony bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat atau melakukan serangkaian kebohongan, membujuk anak melakukan persetubuhan.
Perbuatan terdakwa dianggap melanggar pasal 81 ayat 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak junto pasal 65 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Hal yang memberatkan dalam perkara itu adalah perbuatan terdakwa telah menimbulkan luka traumatik bagi para korbannya. Sedangkan hal yang meringankan adalah terdakwa sudah berusia tua dan mengalami sakit-sakitan.
Putusan hakim itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntut terdakwa dengan pidana 13 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan.
Atas putusan hakim itu, pihak kejaksaan kemudian menempuh upaya banding. Jaksa menganggap putusan itu tidak membuat jera bagi terdakwa sekaligus putusan itu dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. (*)