MASALAH “Pak Ogah” di Kota Makassar tidak lepas dari komitmen pengambil kebijakan dalam mengatasi hal tersebut.
Kenapa menjadi masalah? Karena tidak jarang mereka yang juga kerap disebut “palimbang-limbang” (dalam bahasa Makassar, red) ini menyebabkan kemacetan di jalan raya.
Jika harus jujur, memang tidak sedikit masyarakat mengaku mendapat manfaat dengan adanya pak ogah tersebut. Itu karena mereka dianggap membantu pengendara utamanya roda empat untuk menyebarang atau sekadar memutar di U turn.
Baca Juga :
Di satu sisi, ada masalah sosial alias masalah “perut” sesorang yang tetap perlu untuk diperhatikan. Apatah lagi, tidak sedikit yang berujar, “dari pada mereka mencuri”.
Hemat saya, ujaran tersebut bukan sesuatu yang harus dibandingkan. Sebab, masih banyak perumpamaan lainnya yang bisa disandingkan dari pada menyebut, “dari pada mereka mencuri atau berbuat jahat, lebih baik dari pak ogah”.
Kalimat yang seharusnya dijadikan perumpamaan adalah, membandingkan dengan hal positif. Contohnya, “kepada tidak jadi buruh harian saja dari pada jadi pak ogah”? Ataukah “kenapa tidak jual koran saja dari pada pak ogah”. Perumpahaan hal yang sifatnya positif.
Namun kembali lagi dari personalnya sendiri. Mencari pekerjaan yang sesuai dengan passion adalah hak setiap orang dan tidak bisa dipaksakan.
Walau begitu, mencari pekerjaan untuk mengisi perut tidak semestinya harus memberikan efek negatuf terhadap orang lain dan lingkungan. Kita tetap harus membuka mata bahwa tidak sedikit ada oknum-oknum pak ogah ini melakukan aksi kekerasan jika tidak diberikan uang.
Baik tindakan fisik maupun verbal. Sudah bukan rahasia lagi, oknum-oknum pak ogah ini sudah sering diamankan pihak Dinas Sosial, Satpol PP maupun kepolisian karena ulahnya di jalanan yang membuat masyarakat tidak tenang. Namun apa yang terjadi, mereka akan kembali lagi berada di jalanan dan menjadi penyebab kemacetan, dan lainnya.
Di awal kalimat sudah saya sampaikan bahwa penanganan masalah Pak ogah tidak lepas dari komitmen para penentu kebijakan ataupun stakeholder. Bukan hanya tugas polisi, tapi ada dinas sosial, Satpol PP dan lainnya.
Tentunya masyarakat juga sangat berperan penting dengan tidak memberikan uang kepada mereka. Sebab, jika memberikan uang, tentunya akan membuat mereka lebih betah untuk tetap mencari uang di jalan sebagai Pak Ogah.
Diakhir tulisan Editorial ini, kita harapkan kinerja penentu kebijakan bisa lebih baik lagi ke depan dalam penanganan masalah pak Ogah. Terlebih dengan adanya Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Sulsel Kombes Pol I Made Agus Prasetya yang baru saja dilantik, diharapkan bisa mengatasi persoalan ini dengan semakin bijak.
Bukan tidak mungkin mantan Kabag TIK Korlantas Polri yang menyandang gelar Doktor Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, mampu membangun komitmen dengan para stakeholder lainnya agar persoalan sosial ini bisa mendapat solusi yang terbaik.
Semoga….! (*)
Komentar