INDONESIA menghadapi tantangan serius dalam bidang kesehatan karena fenomena yang disebut Triple Burden Diseases atau tiga beban ganda penyakit. Fenomena ini mencakup Non communicable disease atau penyakit yang tidak menular (PTM), Communicable disease atau penyakit menular (PM), dan Re-emerging disease atau penyakit yang pernah ada dan pernah hilang tetapi muncul kembali dan juga masalah akibat transisi epidemiologi (Purwanto, 2021).
Berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) yang disepakati pada tahun 2015 yang meliputi 17 tujuan. Isu kesehatan terdapat pada tujuan SDGs yang ke 3 yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Dalam tujuan ketiga SDGs terdapat 13 target di mana target keempat yaitu mengurangi sepertiga dari kematian dini yang disebabkan oleh penyakit tidak menular melalui tindakan pencegahan dan pengobatan. Salah satu penyakit tidak menular adalah hipertensi (The Sustainable Development Goals Report, 2017).
Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat global dan faktor risiko utama yang menyebabkan stroke, infark miokard dan gagal jantung. Menurut data WHO, sekitar 972 juta orang atau 26,4% orang di seluruh dunia mengidap hipertensi, angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Sebanyak 972 juta penderita hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639 sisanya berada di negara berkembang, termasuk Indonesia (Wida, 2022).
Laporan National Center for Health Statistics pada tahun 2015-2016, prevalensi hipertensi di Amerika Serikat mencapai 30% dari seluruh populasi dewasa. Prevalensi ini meningkat menjadi 63% pada mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Hal ini menunjukkan bahwa hipertensi merupakan masalah kesehatan yang signifikan di negara tersebut (Meredith et al., 2020). Studi di negara maju seperti China bahwa prevalensi hipertensi pada populasi lansia cukup tinggi. Sebagian besar pasien hipertensi tidak menjalani pengobatan dan kontrol terkanan secara teratur (Ni et al., 2021). Pada tahun 2017 dilaporkan bahwa 2,54 juta kematian disebabkan karena peningkatan tekanan darah (Xing et al., 2023). Selain itu pada tahun 2019, lebih dari 25 juta jiwa mengalami kematian disebabkan oleh tekanan darah tinggi dan stroke (Zhang et al., 2023). Kondisi yang sama terjadi di negara berkembang seperti India, didapatkan data dari Ministry of Health and Family Welfare (MOHFW) tahun 2020, sekitar 23% lansia usia ≥60 tahun menunjukkan multi-morbiditas. Penyakit kardiovaskuler terjadi pada 37% orang yang berusia lebih dari 75 tahun (Sheilini et al., 2022). Selain itu, kejadian hipertensi pada populasi lansia berusia 50-74 tahun di Iran sebesar 61,7% (Farhadi et al., 2023).
Diperkirakan 46% orang dewasa dengan hipertensi tidak menyadari bahwa mereka memiliki hipertensi. Perkiraan jumlah kasus hipertensi di Indonesia adalah 63.309.620 orang, sedangkan angka kematian di Indonesia akibat hipertensi adalah 427.218 orang. (Mahmuda et al., 2023). Prevalensi hipertensi di Sulawesi Selatan berdasarkan hasil pengukuran, data Riskesdas 2007 sebesar 29,0%, data Riskesdas 2013 sebesar 28,1% dan data Riskesdas 2018 sebesar 31,68% (Kementerian Kesehatan RI, 2007; Kementerian Kesehatan RI, 2013; Kementerian Kesehatan RI, 2018). Hipertensi adalah faktor risiko yang paling dominan pada semua jenis stroke. Hipertensi dianggap sebagai penyakit serius karena dampak yang ditimbulkan sangat luas, bahkan dapat berakhir pada kematian. World Health Statistics tahun 2012 (WHO) melaporkan sekitar 51% dari kematian akibat stroke disebabkan oleh hipertensi (Masriadi, 2016). Hipertensi merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap penyakit kardiovaskular yang serius kondisi seperti stroke (Eck et al., 2021).
Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi stroke naik dari 7% menjadi 10.9%. Peningkatan prevalensi penyakit tidak menular ini berpengaruh pada pola hidup antara lain merokok, konsumsi minuman beralkohol, aktivitas fisik, serta konsumsi buah dan sayur yang merupakan perilaku berisiko (Kemenkes, 2018). Faktor risiko terjadinya stroke yakni faktor perilaku, faktor metabolisme, faktor lingkungan, genetik, faktor cardiovaskular dan faktor lainnya umur, migrain. Faktor perilaku terdiri dari rendahnya aktivitas fisik, pola makan yang buruk, perilaku merokok, konsumsi alkohol dan durasi tidur yang kurang (akkur and Judd, 2015). (Zhang et al., 2019). (Mansfield et al., 2018; Iacoviello et al., 2018; Boehme et al., 2017; Kuklina et al., 2012; Endres et al., 2011; Alloubani et al., 2018; Lackland et al., 2016).
Tingginya prevalensi kejadian hipertensi dipengaruhi oleh dua jenis faktor risiko yaitu, faktor yang tidak dapat diubah (usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga) dan faktor yang dapat diubah. Faktor yang dapat diubah berhubungan dengan gaya hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan merokok, minum alkohol, jarang mengonsumsi sayur dan buah- buahan, jarang melakukan aktivitas fisik (Shaumi and Achmad, 2019).
Masyarakat Toraja bukan hanya berbicara tentang Rambu Solo’ (upacara kematian) dan Rambu Tuka’ (upacara syukuran) saja, namun ada banyak hal termasuk dalam sistem pemerintahannya yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang harus dijaga eksistensinya sebagai masyarakat hukum adat yang diakui dan dihormati keberadaannya (Ansyar et al., 2022). Kasus hipertensi sangat erat kaitannya dengan gaya hidup. Gaya hidup adalah faktor yang dapat diubah melalui kesadaran diri sendiri. Namun hal ini tidak bisa terlepas dari pengaruh budaya.
Klien hipertensi pada suku Toraja sangat rentan dengan gaya hidup yang kurang sehat sebagai pemicu kejadian hipertensi (Patintingan et al., n.d.). Masyarakat Toraja sudah terbiasa mengonsumsi minuman beralkohol (Ballo’) dan kurang memperhatikan makanan yang mengandung banyak garam dan lemak saat menghadiri acara rambu tuka’ (acara syukuran) dan rambu solo (acara kematian). Berdasarkan penelitian Sarumaha dan Diana (2018) didapatkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan mengonsumsi alkohol dengan kejadian hipertensi. Responden yang memiliki kebiasaan mengonsumi alkohol memiliki peluang sebesar 2,897 kali menderita hipertensi dibandingkan dengan responden yang tidak mengonsumsi alkohol.
Selain itu, Provinsi Sulawesi Selatan terdapat kabupaten yang memiliki danau yaitu Kabupaten Wajo. Ditinjau dari segi sosial budaya, danau Tempe merupakan kebanggan masyarakat di sekitarnya. Bagi masyarakat nelayan tradisional yang merupakan sumber mata pencaharian bagi nelayan setempat. Karakter khas yang dimiliki oleh masyarakat nelayan tradisional ditandai dengan teknik pemanfaatan danau Tempe secara tradisional yang hingga sekarang masih dipertahankan. Sesuai aturan adat setempat pemanfaatan Danau Tempe terbagi atas beberapa zona/kawasan yang berlaku setiap pergantian musim yaitu kawasan penangkapan ikan yaitu zona Cappeang-Palawang, Bungka dan Makkajalla, kawasan perlindungan yaitu zona Pacco Balanda dan zona keramat, kawasan bermukim terapung, dan kawasan vegetasi apung. Pembagian zona tersebut merupakan bagian dari pranata lokal masyarakat setempat. Selain itu masyarakat nelayan tradisional tersebut juga memahami secara personal tentang sistem adat dan larangan tertentu dalam memanfaatkan danau Tempe.
Ketika air naik dan menggenangi seluruh kawasan danau, hampir seluruh masyarakat melakukan kegiatan penangkapan ikan (Muhibuddin, 2018). Salah satu ikan endemik yang terdapat di Danau Tempe adalah Ikan bungo (Glossogobius bungo/Glossogobius aureus) yang merupakan ikan bernilai ekonomis tinggi yang dikonsumsi dalam keadaan segar maupun kering (Tamsil, 2009 dan Athira dkk, 2016).
Keripik ikan bungo yang dihasilkan bukan hanya sebagai produk makanan ringan yang bersifat kering dan renyah tetapi keripik ini juga dapat dijadikan lauk. Rasa gurih dan asin adalah camilan populer yang tersedia dalam beberapa varietas. Ikan yang dikeringkan sebagai metode pengawetan makanan yang menghilangkan air dari ikan, memperpanjang umur simpannya, termasuk dengan ciri khas rasa asin. Sebagian besar ikan kering diyakini tinggi protein dan rendah lemak. Ikan asin juga mengandung asam lemak dan vitamin, dan mineral. Namun, ada satu komponen dalam ikan kering yang membuatnya sangat berbahaya bagi seseorang yang berisiko terkena hipertensi.
Faktor budaya dan perilaku sangat erat kaitannya dengan persoalan kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Hal ini disebabkan akibat sosial budaya dapat membentuk suatu kebiasaan serta respons terhadap keadaan sehat atau sakit pada masyarakat (Siregar et al., 2020). Studi lain untuk mengevaluasi hubungan antara faktor risiko tertentu dan prevalensi hipertensi pada kelompok etnis yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat pendidikan memiliki peran penting dalam perbedaan prevalensi hipertensi antara kelompok etnis, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi terkait dengan prevalensi hipertensi yang lebih rendah (Lopez-Lopez et al., 2022).
Pendidikan kesehatan yang mempertimbangkan budaya tidak hanya meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hipertensi, tetapi juga memastikan bahwa dapat mengambil keputusan yang lebih baik terkait kesehatannya sesuai dengan nilai-nilai dan praktik budaya mereka. Health Literacy Community Based Culturally Tailored (CBCT) merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan pemahaman dan manajemen hipertensi pada masyarakat dalam mencegah terjadinya stroke. Hal ini, memiliki potensi untuk memberikan kontribusi signifikan terhadap masyarakat yang menderita hipertensi sambil tetap menghargai nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat.
Beberapa kebijakan yang sudah berjalan saat ini yaitu mengindentifikasi penduduk yang berisiko mengalami penyakit kardiovaskuler melalui skrining tekanan darah. Selain itu, kebijakan untuk deteksi dini hipertensi dan penyakit tidak menular lainnya diwujudkkan melalui Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (POSBINDU PTM) dan pelayanan PTM di Puskesmas. Kebijakan tersebut masih belum berjalan secara komprehensif dikarenakan POSBINDU PTM belum optimal menjaring kasus hipertensi di komunitas, sehingga masih ada masyarakat yang kurang terakomodir serta POSBINDU PTM dilakukan bersamaan POSYANDU LANSIA dan POSYANDU BALITA, umumnya dilaksanakan pada hari dan jam kerja.
Dalam mencapai target pelayanan yang komprehensif masih diperlukan rekomendasi kebijakan, yaitu pertama-tama penting untuk mengembangkan program edukasi kesehatan berbasis komunitas yang mencakup implementasikan program edukasi kesehatan berbasis masyarakat yang dapat diakses oleh suku Bugis dan Toraja serta sediakan materi edukasi kesehatan yang mudah dipahami, relevan dengan budaya lokal, dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Bugis dan Toraja.
Selanjutnya, integrasi aspek budaya dalam layanan kesehatan primer. Melalui integrasi pendekatan Health Literacy CBCT dalam layanan kesehatan primer di Puskesmas dengan memahami dan menghormati nilai-nilai budaya masyarakat Bugis dan Toraja serta melibatkan tokoh masyarakat, pemimpin adat, dan pemuka agama setempat untuk mendukung dan mempromosikan program edukasi kesehatan.
Diperlukan juga pelatihan tenaga kesehatan di Puskesmas yang meliputi pelatihan kepada tenaga kesehatan mengenai aspek-aspek kesehatan literasi masyarakat, serta cara menyusun dan menyampaikan informasi kesehatan secara efektif dengan memperhatikan keberagaman budaya dan metode komunikasi yang ramah budaya dan menghormati kepercayaan lokal.
Terakhir yaitu kolaborasi antar sektor. Melalui kerja sama antara sektor kesehatan, pendidikan, dan budaya dapat mendukung program-program kesehatan literasi masyarakat yang bersifat lokal. (*)
Penulis : RUSLANG
Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
*Redaksi tidak bertanggungjawab isi dari opini