JOMBANG – Merokok bagi sebagian masyarakat telah dianggap sebagai sebuah kebutuhan sekaligus gaya hidup. Bahkan kebutuhan akan rokok telah menyamai kebutuhan pangan dan kesehatan, pada masyarakat di kota-kota besar.
Di tengah masyarakat yang menjadikan rokok sebagai suatu budaya, Pesantren Tebuireng, Jombang, menjadi yang pertama menyatakan diri sebagai institusi pendidikan, yang memberlakukan larangan merokok bagi seluruh murid atau santri, karyawan maupun pengajar.
Diutarakan oleh Iskandar, Kepala Pondok Putra, di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, kebijakan larangan merokok bagi seluruh peserta didik, pengajar maupun karyawan yang telah berlaku selama lebih dari 20 tahun itu bertujuan untuk memberikan edukasi mengenai bahaya rokok bagi kesehatan.
Baca Juga :
Penerapan larangan merokok ini dijalankan secara tegas, dengan memberikan sanksi peringatan sampai dengan santri dikembalikan ke orang tua, bila melakukan pelanggaran.
“Merokok ini kan sudah menjadi budaya sebetulnya, tapi kita melihat bukan hanya dari sisi negatif untuk peraturan, akan tetapi dari segi kesehatan, sisi kebersihan dan lain sebagainya. Orang yang tidak merokok pasti lebih kelihatan segar daripada orang yang tidak merokok. Di samping memang peraturan yang sudah kita buat di pesantren ini, yang kedua, kita memang mengenalkan bahwa kita hidup tanpa asap rokok itu lebih baik daripada kita hidup dengan asap rokok,” kata Iskandar, Kepala Pondok Putra, Pondok Pesatren Tebuireng, Jombang.
Menurut Anggota Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Hakim Sorimuda Pohan, keberadaan rokok selain merugikan kesehatan juga merugikan masyarakat secara ekonomi. Pemasukan negara dari cukai rokok sebesar sekitar Rp.87 triliun rupiah pada 2013 tidak sebanding dengan kerugian ekonomi secara makro sebesar Rp.378, 75 triliun, sesuai data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Diperkirakan tahun 2016 ini kerugian secara umum jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan dari cukai rokok.
“Pendapatan negara dibandingkan pengeluaran seluruh masyarakat satu banding tiga, kalau satu waktu pendapatan negara dari cukai rokok 150 triliun, kerugian yang ditanggung oleh bangsa ini 450 triliun, jadi lebih banyak mudhorat dari pada manfaat,” kata Hakim Sorimuda Pohan, Anggota Komnas Pengendalian Tembakau.
Kampanye anti rokok dilakukan dalam bentuk deklarasi Tolak RUU Pertembakauan oleh warga Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, bersama Komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Dikatakan oleh Djawahir Tontowi, guru besar antropologi hukum dari Universitas Islam Indonesia, bahwa penolakan ini perlu dilakukan karena tidak adanya asas keadilan dari RUU Pertembakauan khususnya bagi petani tembakau, dan lebih berpihak pada pengusaha rokok. Selain itu Djawahir menilai, RUU Pertembakauan belum diperlukan atau mendesak disahkan sebagai undang-undang.
“Yang namanya peraturan perundang-undangan tetap harus ada jaminan keadilan. Jaminan keadilan dari konteks apa, dalam konteks geografis, apa benar, apa valid, apa relevan ketika hanya tiga daerah yang memiliki pertanian tembakau, payung hukumnya harus undang-undang yang memiliki level nasional, ini tidak benar. Kalau toh memang mau diatur, aturlah oleh daerah itu, tapi sekali lagi seberapa jauh dan besar manfaat yang akan dimunculkan oleh peraturan-peraturan tersebut,” kata Djawahir Tontowi.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, KH. Salahuddin Wahid mengatakan, deklarasi Tolak RUU Tembakau ini merupakan bentuk konsistensi Pesantren Tebuireng yang telah terlebih dahulu melarang rokok di lingkungan pesantren.
“Kegiatan hari ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Tebuireng, kami beranggapan RUU Pertembakauan ini tidak perlu sebetulnya, karena sudah dimuat di banyak Undang-undang lain, jadi tumpang tindih dan alasannya juga tidak jelas,” kata Salahuddin Wahid.
Deklarasi Tolak RUU Pertembakauan memuat sepuluh butir alasan rokok sebagai pintu gerbang runtuhnya generasi bangsa, dan oleh karena itu mendesak pemerintah melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya rokok, serta pengaturan tata niaga tembakau dan cengkeh yang lebih berpihak pada petani. (*)
Komentar