Beberapa waktu silam, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan adanya sertifikasi para pemuka agama. Hal ini merespons fenomena terorisme yang disinyalir bermuara pada pemahaman doktrin agama yang terlalu ekstrim dan radikal. Dengan adannya sertifikasi ulama tersebut, diharapkan akan ada standardisasi dakwah agama yang dilakukan oleh pemuka agama ini kepada masyarakat.
Selama ini ada sebuah asumsi dasar bahwa kekerasan terorisme selalu berbanding lurus dengan doktrin agama. Artinya semakin fundamental dan radikal pemahaman keagamaan seseorang, semakin berpotensi untuk ikut -setidaknya direkrut – dalam kegiatan terorisme dengan kedok jihad. Tak pelak, agama beserta pranata sosial yang ada di dalamnya dituntut untuk mampu mengeliminir gejala ini. Dan deradikalisasi adalah istilah yang dipakai dalam upaya membentengi ummat beragama – khususnya generasi muda- dari pemahaman radikal dalam beragama.
Sebenarnya jika kita simak secara jernih, gagasan sertifikasi pemuka agama ini bertolak pada kebekuan aparat dan pranata agama dalam melakukan konter radikalisasi dan isu terorisme. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa radikalisasi ini memang terbukti bersumber dari pemahaman “radikal” agama. Jaringan terorisme yang selama ini berjalan di Indonesia adalah sel-sel lama yang selama ini beroperasi dengan terus melakukan perkembangbiakan dan regenerasi. Dan kaum muda adalah sasaran empuk dalam rangka rekrutmen jaringan ini, terutama untuk dijadikan “pengantin” jihad. Di sinilah kiranya relevansi gagasan sertifikasi pemuka agama dalam rangka membangun pemahaman keagamaan yang antiradikal.
Problem Sertifikasi Ulama
Meskipun gagasan sertifikasi pemuka agama tersebut bersumber pada pembacaan yang rasional, namun dalam tataran praksis gagasan ini sangat sulit untuk diimplementasikan. Ada beberapa persoalan terkait sertifikasi ulama ini. Pertama, ulama secara formal bukanlah bagian dari aparatur negara. Pemuka agama, ulama, kiai atau apapun istilahnya adalah sosok yang dinobatkan oleh masyarakat. Di sini penyemat “gelar” tersebut adalah masyarakat, bukan pemerintah.
Kiai adalah representasi pengembangan agama yang dikonstruk oleh realitas sosial. Sehingga keberadaannya berdasar pada kebutuhan masyarakat secara langsung. Hal ini berbeda dengan guru yang secara legal-formal memiliki kaitan normatif dengan pemerintah, selain kualifikasi akademik yang disyaratkan dalam bentuk formal. Inilah mengapa PBNU menolak upaya sertifikasi ulama ini. KH Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU menyatakan penolakan terhadap proses sertifikasi ini, karena ulama maupun kiayi adalah milik masyarakat, bukan Negara.
Kedua, dari segi kuantitas, sangatlah sulit mengidentifikasi kiayi atau ulama. Kiayi atau ulama tersebar di seantero penjuru nusantara. Jumlah ulama dan pemuka agama Islam di Indonesia sangatlah luar biasa jumlahnya, mengingat Indonesia merupakan negara penduduk muslim terbesar di dunia. Bila ulama ini kita batasi pada kiayi musholla, surau atau langgar misalnya, maka jumlahnya bisa jadi 5 kali lipat dengan jumlah surau atau musholla yang tersebar di seluruh nusantara. Rasionya, hampir setiap desa berpenduduk mayoritas muslim, setidaknya memiliki 10-20 musholla. Hal ini belum termasuk para ulama/kiai yang melakukan pendidikan dan dakwah Islam di rumah masing-masing dan secara nonformal.
Ketiga, sertifikasi harus perimplikasi pada pemberian hak. Kalau program sertifikasi ini kita analogikan dengan guru, maka harus ada tunjungan profesi yang diberikan kepada ulama. Hal ini bukan hanya berimplikasi pada administrasi dan keuangan negara, tetapi juga orientasi dakwah ulama. Selama ini para ulama ketika melakukan dakwah Islam, mereka menggunakan prinsip ikhlas dan pengabdian. Jutaan kiayi mushalla/langgar yang mengabdi pada dakwah Islam tidak pernah mendapatkan kompensasi. Jika sertifikasi ini diberlakukan, maka tidak menutup kemungkinan akan menggeser niat dan orientasi dakwah Islam.
Kompleksitas Terorisme
Jika kita cermati modus dan aksi para teroris, sebenarnya akan kita dapatkan simpul-simpul persoalan yang sangat kompleks. Ada banyak motif dan orientasi aksi terorisme yang selama ini bermain di bumi nusantara ini. Dan agama dalam hal ini adalah satu diantara simpul-simpul tersebut. Aspek yang lain misalnya adalah aspek ekonomi, budaya, hukum, ideologi dan politik mempunyai andil dalam penyemaian aksi terorisme ini.
Pada dimensi politik misalnya, terorisme merupakan isu penting yang menarik perhatian tidak hanya nasional, tapi juga global. Bisa kita lihat bagaimana perhatian media ketika meliput persoalan terorisme. Isu terorisme yang selalu bersentuhan dengan ancaman nasional menjadikan isu ini sangat “seksi”. Dan ini di satu sisi bisa menjadi kartu “kunci†dalam memainkan isu terorisme ini. Sebuah pertanyaan bisa kita lontarkan misalnya, mengapa setiap September isu terorisme ini mencuat dan aktual. Atau bila kita sedikit su’udzan, mungkinkah isu terorisme ini hanya sekedar pengalihan isu semata?
Terlepas dari persoalan tersebut, sebagaimana kita mafhum bersama bahwa terorisme adalah musuh yang harus kita perangi. Namun diperlukan multistrategi untuk melawan musuh bersama ini. Deradikalisasi boleh jadi adalah salah satu strategi untuk memutus rantai generasi jaringan terorisme. Namun pada dimensi lainnya, semua pihak – khususnya pemerintah – harus serius melakukan tindakan preventif dan konter terorisme ini. Mari bersama kita menghadirkan cara beragama yang ramah dan toleran, sehingga radikalisme tidak memiliki tempat sedikitpun dalam agama.
Muhamad Mustaqim
Dosen STAIN Kudus, aktif di kajian sosial “The Conge instituteâ€.
Komentar