BANJARNEGARA – Masih jelas tergambar musibah bencana alam yang terjadi di Banjarnegara, Rabu, (18/4/2018) lalu. Suara gemuruh, kegaduhan, dan ketakutan pasca gempa Banjarnegara tak bakal bisa dilupakan oleh Priyadi, sosok lelaki berusia empat puluhan, asal Desa Kasinoman, Kecamatan Kalibening.
Ia beserta istri, kedua anaknya, dan ibu kandungnya berhasil selamat dari bencana gempa bumi berkekuatan 4,4 SR yang mengguncang Banjarnegara saat itu.
Kini, Priyadi dan keluarganya tinggal sementara, berjejal berdesakan di tenda pengungsian Desa Kasinoman.
Baca Juga :
Rumah Priyadi hancur tidak berbentuk lagi. Runtuhan tembok berserak ke berbagai arah. Sisa rumahnya hanya berbentuk kayu dan besi patah, atap ambruk, dan beton tembok hancur tak beraturan.
Genap sepekan pasca bencana fatal itu, Priyadi masih bisa mengisahkan lengkap tiap fragmen cerita yang ia alami Rabu siang sepekan lalu. Ditemui oleh Tim Emergency Response Aksi Cepat Tanggap (ACT) di depan tenda pengungsian, Priyadi menceritakan kisahnya.
Ia mengisahkan detik demi detik ketika gempa mengguncang dan menghancurkan ratusan rumah di desanya.
Hanya dalam hitungan 1 detik, semua rumah hancur. Rabu siang itu, Priyadi sedang beristirahat di ranjang kecil di rumahnya. Hampir terlelap, tiba-tiba ia merasakan getaran luar biasa.
“Seperti rumah saya dan semua di atas tanah diangkat, lalu dibanting lagi. Setelah itu semua runtuh. Saya tertindih beton besar di kaki. Yang pertama saya ingat adalah anak-anak saya,” tuturnya.
Ketika gempa terjadi, kedua anak Priyadi sedang berada di depan televisi, di ruang tengah rumah.
“Anak saya dua orang sedang duduk di sebelah lemari, di depan TV. Setelah gempa reda, saya masih tertimbun. Belum bisa bergerak. Istri saya teriak-teriak meminta pertolongan. Dua anak saya hampir ditimpa lemari yang ambruk. Tapi ibunya menahan lemari itu,” kisah Priyadi, dengan mata berkaca-kaca.
Namun, kala itu Priyadi tidak bisa berbuat apapun. Tubuhnya lemas ditindih tembok beton dan atap rumahnya yang ambruk.
“Kamu jangan ngurusin bapak. Bapak ini laki-laki, insya Allah bisa bangun sendiri. Kamu tolong anak-anak dulu. Pelan-pelan bangunkan lemarinya. Setelah anak-anak aman, biarkan lemarinya ambruk,” kata Priyadi kala itu kepada istrinya.
[NEXT]
Sampai akhirnya istri dan kedua anaknya bisa menyelamatkan diri dari lemari dan atap rumah yang runtuh. Priyadi berusaha untuk bangkit, dan alhamdulillah beton di kaki dan perutnya berhasil ia angkat perlahan.
“Simbah mana, simbah? Saya berkata kepada istri, saya mencari di mana simbah. Terakhir simbah ada di dapur kata istri saya, tapi dapur sudah porak-poranda,” cerita Priyadi.
Pelan-pelan terdengar suara simbah meminta tolong.
“Aku ketiban plafon, aku di balik pintu dapur,” ujar Priyadi menirukan suara lirih simbah atau ibunda kandungnya sendiri.
Pintu dapur langsung didorongnya. Priyadi berusaha mendobrak. Dia pun berusaha masuk ke plafon yang ambruk. Tangannya yang satu mengangkat plafon, tangan satu lagi mengapit simbah keluar.
SSetelah semua keluar dari rumah, Priyadi dan keluarganya menangis. Ya, mereka sekeluarga menangis bahagia.
“Alhamdulillah semua selamat. Tapi kaki saya ternyata keluar darah banyak. Sampai ndak terasa. Kaki saya sampai dijahit 15 jahitan,” ujarnya.
Kini Priyadi hanya bisa merenung, membayangkan bakal tinggal dimana dalam waktu beberapa bulan ke depan.
“Rumah saya sudah hancur semuanya. Semoga Allah memudahkan lagi usaha keluarga saya untuk bikin rumah lagi. Saya hanya petani buruh, kadang juga buruh bangunan,” kata Priyadi lirih.
Ia menutup cerita dengan kenangan tentang rumahnya. Tutur Priyadi lagi, rumah yang ambruk milik sendiri yang berhasil ia bangun dengan keringatnya beberapa bulan lalu.
“Saya baru selesai bangun rumah ini tiga bulan lalu. Sekarang semuanya habis hancur hanya dalam 1 detik. Lemari, televisi, meja, semua di dalam rumah roboh tidak ada yang bisa digunakan lagi,” ujarnya sembari terduduk pilu di depan tenda terpal pengungsian yang kini jadi rumahnya untuk sementara.
Giyanto, salah satu tim Emergency Response ACT menjelaskan, kondisi tenda-tenda pengungsian tak bisa dibilang layak. Pasalnya banyak orang berdesakan dalam satu tenda kecil.
“Ndak normal itu banyak keluarga dalam satu tenda bertumpuk-tumpuk. Kalau malam semua tidur tidak beraturan. Kalau hujan, basah masuk ke dalam tenda pengungsian,” ujar Giyanto. (*)
Komentar