JAKARTA–Tren penambahan utang pemerintah pusat kini menjadi sorotan bagi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).
Dari data Kemenkeu, utang pemerintah pada 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun, kini naik signifikan dibandingkan posisi Rp4.778 triliun pada akhir 2019.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna menuturkan bahwa tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.
“Hal ini tentu memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang,” kata Agung Firman dalam Rapat Paripurna DPR RI yang digelar belum lama ini, dikutip dari, Bisnis.com, Selasa (29/06/21).
Agung menyebut, bahwa pandemi Covid-19 memang telah meningkatkan defisit, utang, dan sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) yang berdampak pada pengelolaan fiskal.
“Meskipun rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, tapi trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah,” papar Agung.
Menurut dia, indikator kerentanan utang pada 2020 telah melewati batas yang direkomendasikan IMF. Ratio debt relief Indonesia mencapai 46,77 persen, sementara rentang IMF sebesar 25-35 persen.
“Jadi rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan yang mencapai 19,06 persen telah melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen,” katanya.
Adapun, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
“BPK juga mencatat indikator kesinambungan fiskal Tahun 2020 yang sebesar 4,27 persen juga melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen,” terangnya. (*).