JAKARTA– Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membeberkan data dari audit yang menyebutkan utang pemerintah Indonesia saat ini telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR) dengan rasio sebesar 25%-35%.
Tercatat, jumlah utang Indonesia sampai pada akhir mei mencapai Rp 6,418 triliun atau dengan rasio debt service terhadap penerimaan (DSR) sebesar 46,77%.
Namun, Senior Economist Samuel Sekuritas Fikri C Permana mengatakan, tingkat utang yang dimiliki Indonesia saat ini masih dalam batas aman sehingga ruang fiskal masih cukup besar.
Baca Juga :
“Neraca dagang dalam 2 tahun terakhir terus mengalami perbaikan sehingga Indonesia bisa keluar dari kondisi double defisit,” kata Fikri kepada Investor Daily, Sabtu (3/7/2021).
“Utang yang dimiliki Indonesia masih sangat jauh dibandingkan dengan negara peers seperti Malaysia atau negara dalam ASEAN lainya yang utangnya jauh lebih tinggi ketimbang GDP (gross domestic product) mereka,” sambungnya
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemkeu), kata dia, rasio pembayaran bunga utang Indonesia terhadap penerimaan sebesar 19,06 dibanding rekomendasi IDR 4,6%-6,8% dan IMF 7%-19%.
“Rasio utang terhadap penerimaan 369%, lebih tinggi dari yang disarankan oleh kedua badan yaitu 92%-167% dan 90%-150%,” katanya
Fikri menjelaskan, bahwa meski dalam batas yang aman, hendaknya rekomendasi dari IMF dan IDR dapat menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk utang dengan tenor jangka panjang.
Sebab, kata dia, di sisi lain Indonesia masih membutuhkan dana yang besar untuk menutupi pengeluaran untuk penanganan Covid-19 seperti yang baru-baru ini diumumkan yakni pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT).
“Mau tidak mau, pemerintah harus memperlebar defisit, karena dalam kondisi seperti ini penerimaan pemerintah terus berkurang. Pemerintah juga disarankan untuk memperpanjang target defisit 3% pada 2023 agar ruang fiskal yang dimiliki lebih besar,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia harus lebih gencar mencari pendanaan. Sebab, langkah lelang surat utang negara dinilai tidak akan cukup menutupi pengeluaran yang ada. Indonesia masih memiliki beberapa opsi, seperti private placement atau kembali menggunakan opsi penambahan utang.
“Selama 2 tahun terakhir Indonesia tidak menerima penurunan nilai dari lembaga rating global, dimana negara sekitar diberikan penurunan rating, ini menandakan utang yang ada masih manageable,” kata dia.
Dikatakannya lagi, bahwa selain dengan utang, langkah yang perlu dilakukan pemerintah adalah melakukan pembenahan pada birokrasi perpajakan serta meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pembayaran pajak.
Pasalnya, tingkat serapan pajak Indonesia saat ini yang masih rendah ketimbang negara lain, terutama pada warga negara yang berpenghasilan di atas Rp 2 miliar per tahun atau kelas menengah.
“Saat ini untuk kelas menengah pemerintah hanya menerima sebanyak 11% dari total masyarakat kelas menengah yang ada, masih rendah dibanding negara lain,” terangnya.(*)
Komentar