JAKARTA – September ini, ada wacana akan terjadi mogok buruh secara nasional. Rencananya, akan ada sekitar dua juta buruh dari 14 kabupaten dan kota se-Indonesia yang akan melakukan mogok nasional. Alasan kesejahteraan dan penghapusan sistem outsourcing adalah persoalan klasik yang masih menjadi tuntutan para pekerja ini (Okezone, 6/9/2012).
Permasalahan buruh, bukanlah persoalan baru dan aktual. Ia ada seiring dengan munculnya industrialisasi dalam sebuah masyarakat. Adalah Karl Marx, seorang sosialis yang pernah melontarkan gagasan tentang solusi permasalahan perburuhan dalam masyarakat kapitalis.
Mengeluarkan buruh dari penghisapan (eksploitasi) dan penindasan hanya bisa terjadi melalui apa yang ia sebut sebagai revolusi. Melalui revolusilah pertentangan kelas, antara kaum borjuis atau pemilik alat produksi dengan kaum proletar atau kaum buruh akan terselesaikan. Karena revolusi akan membentuk masyarakat sosialis, di mana keberadaan kelas sosial dihapuskan. Namun Marx lagi-lagi gagal dalam memprediksi perkembangan sistem kapitalis yang selalu bermetamorfosis menuju kesempurnaan.
Kemenangan ideologi kapitalis pasca Perang Dingin tentunya memberi angin segar terhadap pertumbuhan industrialisasi. Kapitalisme yang mempunyai tiga tabiat utama, yakni liberalisasi, privatisasi dan deregulasi semakin menumbuh suburkan keberadaan perusahaan raksasa internasional atau yang lebih dikenal dengan Multi/Trans National Corporate (MNS/TNC), yang telah menancapkan kuasanya di hampir setiap Negara. Sampai sini, perkembangan TNC/MNc di Negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia tidak bisa lagi dihindarkan.
Lemahnya Posisi Buruh
Masalah kemudian muncul, kaitannya dengan persoalan buruh, yang menjadi prasyarat keberadaan perusahaan dan industri. Ada dua kepentingan yang saling bertentangan. Di satu sisi, perusahaan menginginkan laba yang besar bagi proses bisnisnya. Salah satu indikatornya adalah dengan membatasi hak-hak yang harus diberikan kepada buruh. Dengan membatasi hak-hak buruh, maka perusahaan akan mampu mengurangi pengeluaran, dan itu berarti semakin membuka peluang mendapatkan laba yang besar. Di sisi lain, buruh mempunyai kepentingan untuk sejahtera, mampu mencukupi kebutuhan, dan mendapatkan hak-hak bekerja yang layak. Pertentangan kepentingan ini pada akhirnya menjadi pertentangan yang tidak seimbang, di mana pihak perusahaan dalam hal ini sangat diuntungkan. Ini terjadi karena beberapa faktor.
Pertama, rasio yang tidak seimbang antara lapangan kerja dengan angkatan kerja. Daya serap lapangan kerja (perusahaan) yang sangat terbatas dibanding dengan banyaknya angkatan kerja, menjadikan perusahaan mempunyai bargaining yang besar untuk memperlakukan buruh sesuai keinginannya. Yang terjadi, buruh jika mau mendapat pekerjaan harus mengikuti peraturan yang ditentukan oleh perusahaan. Di sini perusahaan menggunakan prinsip bisnisnya, mengeluarkan sumber daya minimal, mencari keuntungan maksimal. Akhirnya buruh harus bertekuk lutut di hadapan perusahaan.
Fenomena sistem kontrak adalah contoh riil dari menguatnya posisi perusahaan terhadap kaum buruh. Sistem kontrak dalam hal ini benar-benar menempatkan posisi buruh pada titik nadhir yang sangat memprihatinkan. Karena sistem kontrak melahirkan pembatasan hak-hak yang selayaknya harus didapatkan oleh buruh. Hak-hak buruh seperti tunjuangan, jaminan sosial, cuti, pensiun, libur dan lainnya tidak berlaku dalam sistem kontrak. Jikalau ada, itu hanya terdapat dalam beberapa perusahaan saja, itupun dengan nominal yang sangat kecil sekali. Di beberapa perusahaan, ada yang memberlakukan sistem kerja full week, tidak ada hak buruh untuk libur dalam satu minggu tersebut. Ada juga perusahaan yang menerapkan sistem kontrak, di mana ketika pekerja menikah, maka ia akan dianggap melanggar kontrak dan akan dikeluarkan. Betapa “jahat†nya sistem ini, untuk menikah saja tidak diperbolehkan.
Kedua, peran Negara (pemerintah) yang semakin tersingkir. Sebagaimana prinsip sistem kapitalisme yang meminimalisir – bahkan menghilangkan sepenuhnya – peran Negara dalam perekonomian, maka pemerintah tidak mampu lagi menangani persoalan buruh ini. Negara dibuat diam seribu bahasa terhadap kesewenang-wenangan perusahaan memperlakukan warga negaranya. Fenomena outsourcing dan sistem kontrak yang selalu ditentang oleh kaum buruh sampai sekarang masih berlaku, bahkan menjadi tren sistem rekrutmen di banyak perusahaan. Dan Negara tidak mampu berbuat apa-apa, karena Negara dalam hal ini – meminjam bahasa Marx lagi- hanya sebagai penjaga malam saja. Tuntutan kaum buruh untuk menjadikan may day (1 Mei) sebagai hari libur nasional pun hanya sebatas wacana yang tidak mungkin dikabulkan pemerintah.
Upaya menjembatani permasalahan buruh melalui tripartite antara buruh, perusahaan dan pemerintah hanya akan menjadi isapan jempol. Posisi buruh yang lemah, akan mudah dikondisikan melalui “persengkokolan legal†pemerintah dan perusahaan. Jika seperti ini, maka kesejahteraan buruh akan hanya menjadi mimpi belaka. Namun begitu, perjuangan kaum buruh harus tetap selalu didukung.
Mogok buruh nasional adalah bagian dari bargaining position buruh dalam menuntut pemenuhan hak dan kesejahteraan. Karena bagaimanapun, perusahaan dan pemerintah tidak bisa lepas dari peran buruh. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya kalau semua buruh di seluruh negeri ini melakukan mogok kerja, yang jelas perekonomian nasional akan mengalami persoalan yang krusial. Kita berharap pemerintah dan perusahaan sebagai pihak yang selama ini diasumsikan vis a vis dengan buruh mampu memberikan kebijakan yang berpihak pada kepentingan buruh, dengan tanpa merugikan pihak lainnya. Semoga!
Muhamad Mustaqim
Dosen STAIN Kudus, aktif di kajian Sosial The Conge Institue Kudus
Komentar